Jumat 03 Feb 2023 10:56 WIB

Dejavu Impor Beras Jelang Pemilu

Saat itu, impor beras dibuka setahun menjelang Pemilu 2019.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ahmad Fikri Noor
Buruh pelabuhan menurunkan beras impor asal Vietnam dari kapal kargo di Pelabuhan Malahayati, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Kamis (5/1/2023). Kebijakan impor beras yang tengah bergulir menjelang tahun politik membuka ingatan publik dengan peristiwa serupa pada 2018 lalu.
Foto: ANTARA/Ampelsa
Buruh pelabuhan menurunkan beras impor asal Vietnam dari kapal kargo di Pelabuhan Malahayati, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Kamis (5/1/2023). Kebijakan impor beras yang tengah bergulir menjelang tahun politik membuka ingatan publik dengan peristiwa serupa pada 2018 lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan impor beras yang tengah bergulir menjelang tahun politik membuka ingatan publik dengan peristiwa serupa pada 2018 lalu. Saat itu, impor beras dibuka setahun menjelang Pemilu 2019. Adakah kaitan antara impor beras dengan kepentingan politik?

Pemerintah resmi membuka keran impor sebanyak 500 ribu ton pada November 2022 dalam rapat koordinasi terbatas, dilanjutkan dengan penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI) pertengahan Desember. Berjarak sekitar 13 bulan menjelang pemungutan suara capres-cawapres bulan Februari 2024 sesuai jadwal KPU.

Baca Juga

Sementara, impor beras 2018 lalu diputuskan pada Januari atau 16 bulan menjelang Pilpres 2019 yang digelar April. Pro dan kontra muncul saat impor kembali dibuka akhir tahun lalu. Kementerian Pertanian mengeklaim pasokan surplus sedangkan Kementerian Perdagangan dan Badan Pangan Nasional mengambil langkah untuk mengizinkan impor demi menambah stok cadangan di Perum Bulog.

Pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesa (AEPI) Khudori menuturkan, terdapat sedikit perbedaan saat impor beras 2022 dan 2018 lalu. Selain karena jarak tahun yang berbeda, kondisi perberasan pun demikian.

"Impor beras 2022 sebetulnya masih jauh karena Pemilu masih 2024, sedangkan impor tahun 2018 itu memang kelihatan sekali dipaksakan," kata Khudori kepada Republika, Jumat (3/2/2023).

Khudori menuturkan, impor beras 2018 tidak begitu diperlukan dan kedatangan impor justru saat musim panen raya Maret-April akibat keputusan yang tertunda-tunda. Selain itu, jumlah impor beras 2018 juga tidak rasional, dari semula 500 ribu ton menjadi 1,8 juta ton.

Pemerintah dinilai tidak memiliki perencanaan matang. Selain tak bisa memastikan waktu kedatangan, volume impor beras juga terlampau besar. "Kita tahu ini membawa mudharat yang luar biasa karena beras impor itu masih tersisa. Usianya sampai empat tahun di gudang Bulog," katanya.

Terbukti, tahun 2019 lalu, Bulog terpaksa melakukan disposal atau pelepasan beras dengan harga murah untuk dijual sebagai tepung hingga bahan baku etanol. Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, saat itu pun seringkali berbicara keras soal beras impor karena ia menjadi salah satu pihak yang menolak.

 

Sementara, terkait kebijakan beras impor 2022, dinilai Khudori lebih rasional. "Terlepas dari banyak yang tidak setuju, menurut saya itu memang harus dilakukan karena pemerintah harus punya cadangan beras yang memadai di Bulog untuk melakukan intervensi harga," katanya.

Badan Pangan Nasional (NFA) sejak Agustus 2022 sudah mencatat adanya peningkatan operasi pasar beras hingga 200 ribu ton per bulan, dari biasanya hanya sekitar 30 ribu-50 ribu ton per bulan. Kebutuhan operasi pasar terus meningkat hingga stok perum Bulog tersisa kurang dari 500 ribu ton dari batas yang ditentukan NFA 1,2 juta ton.

Pemerintah waswas. Sebagai stabilitator harga, Bulog wajib menggelontorkan beras terus menerus. Di sisi lain, dengan pasokan yang tipis, cadangan beras bisa habis.

Situasi itu bisa menjadi lahan spekulan untuk meningkatkan harga beras. Sebab, besaran cadangan beras pemerintah (CBP) membawa efek psikologis bagi pasar. "Psikologis ini penting untuk dijaga ketika pemerintah ada cadangan yang memadai. Pedagang dan penggilingan tidak akan melepas stok mereka ketika tahu ada potensi kenaikan harga," katanya.

Sebaliknya, jika pemerintah memiliki stok yang cukup kuat, para pelaku usaha perberasan tak akan menahan stok. Karena menjadi risiko jika pedagang menahan stok, pemerintah bakal membanjiri pasar yang membuat harga jatuh. Meskipun pada kenyataannya, sudah hampir dua bulan impor beras masuk, harga tak turun-turun juga.

"Jadi apakah itu terkait pemilu, sepertinya saya tidak melihat karena harga beras juga masih mahal. Apalagi beras yang diimpor Bulog itu beras premium yang dijual dengan harga medium. Pemerintah justru nombok," katanya.

Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (2/2/2023), menuturkan, harga beras impor yang tengah didatangkan sebesar Rp 9.000 per kg. Itu karena tingkat butir patah yang hanya lima persen dan berkualitas bagus. Sedangkan harga jual dari Bulog dari gudang hanya Rp 8.300.

"Selisih harganya nanti negara yang ganti. Ini yang perlu diketahui jadi kita tidak bicara untung," katanya.

Ia mengaku sejak Juli sudah mulai terdapat lonjakan permintaan beras di luar dugaan. Beberapa tahun ke belakang, dengan cadangan beras yang dijaga di level satu juta hingga 1,5 juta ton, cukup aman memenuhi operasi pasar beras dalam setahun.

Oleh sebab itu, dengan kondisi yang cadangan beras yang menipis, diputuskan importasi hanya 500 ribu ton dan harus tuntas didatangkan bulan ini sebelum panen raya pada bulan depan.

"Bukan kita maunya yang impor, tidak. Tapi memang kondisi saat itu yang membuat harus impor," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement