REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laboratorium Indonesia 2045 (Lab45) merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk bersikap netral dengan tidak membeli minyak murah Rusia. Rekomendasi itu berkaitan dengan aspek politik internasional yang telah dianut, namun tidak pula mengikuti aliansi pendukung pembatasan harga.
Sebagaimana diketahui, kebijakan intervensi terhadap harga beli minyak mentah Rusia masih berlanjut, bahkan mengalami penambahan terhadap minyak petroleum pada awal Februari 2023.
"Kemarin ada wacana dari pemerintah dan Pertamina untuk membeli minyak dari Rusia, tapi rasanya dari sisi politik internasional harus dikaji lebih jauh, karena kita sudah di G20 sudah berdiri sebagai Gerakan Non-Blok," kata Tim Peneliti Cakrawala Strategis Lab45 Irsyan Maududy dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu (4/2/2023).
Irsyan menerangkan, kajian Lab45 menetapkan bahwa posisi internasional dan Indonesia terhadap kebijakan pembatasan harga cenderung berdampak negatif terhadap geopolitik dan ekonomi internasional. Dari sisi geopolitik, pembatasan harga menambah ketegangan konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Sementara dari sisi ekonomi, kebijakan pembatasan harga akan dirasakan dampak positifnya ketika kebijakan ini terealisasi secara efektif.
"Kebijakan ini sebenarnya bisa efektif kalau Rusia tidak melakukan counter policy, namun kelihatannya Rusia akan melakukan counter policy dan bisa menjadi senjata makan tuan untuk negara-negara aliansi karena mereka juga sedang mengalami inflasi yang tinggi," katanya lagi.
Menanggapi persoalan tersebut, Vice President Pertamina Energi Institute PT Pertamina (Persero) Hery Haerudin mengatakan pembatasan harga minyak Rusia akan mempercepat decoupling global.
"Price cap ini ibarat mendorong balon, tekan di sini, membelendung sebelah sana. Karena akhirnya minyak-minyak Rusia mengalir ke India dan Tiongkok. India dan Tiongkok mendapatkan harga yang kompetitif," ujar Hery.
Ia menjelaskan, Rusia merupakan produsen minyak terbesar ketiga di dunia setelah AS dan Arab Saudi, dengan produksi mencapai 10,78 juta barel per hari atau mencakup 11 persen produksi minyak dunia. Adanya gangguan terhadap penjualan akan berdampak serius terhadap pasokan energi global.
Turunnya pasokan minyak global akan mendorong harga energi lebih tinggi dan memicu inflasi. Suku bunga yang tinggi juga meningkatkan biaya pembiayaan untuk teknologi baru yang mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
"Secara geopolitik, price cap yang berkepanjangan juga akan mendorong negara-negara penghasil minyak akan terlibat dalam persaingan Amerika Serikat dan China, dengan mempertimbangkan keuntungan untuk bergabung dalam blok ekonomi-politik sesuai dengan kepentingan masing-masing," katanya lagi.
Vice President Riset Industri dan Regional Bank Mandiri Dendi Ramdani turut menambahkan, produksi minyak Rusia perlahan pulih karena permintaan oleh China dan India.
"Peningkatan permintaan Tiongkok dan India dimotivasi oleh perbedaan harga antara minyak dari Rusia dan AS. Sementara itu, produksi negara penghasil minyak lain juga meningkat," ujar Dendi.