Sabtu 04 Feb 2023 23:06 WIB

Pengamat Nilai Budaya Militeristik Masih Melekat di Institusi Polri

Bambang Rukminto merujuk pada nota pembelaan Arif Rachman di sidang kasus Brigadir J.

Petugas kepolisian berjaga. Budaya militeristik dinilai masih melekat di institusi Polri. (Ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Petugas kepolisian berjaga. Budaya militeristik dinilai masih melekat di institusi Polri. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menanggapi nota pembelaan Arif Rachman yang mengungkap budaya organisasi Polri mengakar pada rantai komando, sebagai budaya militeristik masih melekat di institusi sipil tersebut. Menurut Bambang, apa yang disampaikan oleh Arif Rachman dalam nota pembelaannya jamak terjadi, perintah atasan seolah menjadi harga mati yang harus dilakukan tanpa ada pertimbangan logis.

"Artinya kultur militeristik masih melekat di institusi sipil ini. Hubungan komando masih menjadi kebiasaan padahal, sebagai lembaga sipil, ketaatan hanya pada aturan atau SOP bukan hanya pada perintah lisan atasan," ujar Bambang.

Baca Juga

Bambang menyebutkan, meski secara kelembagaan organisasi Polri telah dipisahkan dari TNI sejak 1998, budaya militer TNI masih melekat sampai sekarang di kepolisian. Ia menilai, reformasi Polri tidak pernah berjalan dengan benar, oleh karena itu budaya militeristik masih terjadi sampai sekarang.

"Formasinya masih sama, format aturannya masih militeristik, akibatnya kulturpun masih militeristik," katanya.

Tidak hanya itu, Bambang melihat, Polri memiliki kewenangan besar yang diberikan negara melalui UU No 2 Tahun 2002 sehingga mengakibatkan Koprs Bhayangkara saat ini lebih arogan dibanding saat bergabung dengan ABRI. Saat masih di dalam ABRI ada kontrol dari Panglima ABRI maupun Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam).

"Setelah pemisahan saat ini, Polri di bawah Presiden langsung, akibatnya seperti yang terjadi dan dirasakan masyarakat saat ini," ujarnya.

Menurut Bambang, negara harus melakukan rasionalisasi terkait kewenangan Polri yang dianggapnya terlalu besar. "Karena negara yang memberi wewenang Polri, negara pulalah yang bisa melakukan rasionalisasi kewenangan Polri yang sudah super besar itu," paparnya.

Untuk merasionalisasi kewenangan Polri itu, cara yang dapat ditempuh, pertama mensegerakan perumusan UU Keamanan Negara, merevisi UU Kepolisian, membentuk nomenklatur (tanda nama) baru kementerian keamanan, dan memperkuat pengawasan eksternal seperti Kompolnas. Tentunya, kata Bambang, cara ini akan mendapat penolakan dari kepolisian yang ingin mempertahankan status quo, zona nyaman atas kewenangan besar yang dimiliki.

Yang menjadi catatannya, apakah negara berani mengambil risiko menghadapi resistensi Polri. Bila tidak berani mengambil risiko melakukan perubahan untuk membatasi kewenangan kepolisian ke depan bisa menjadi blunder bagi negara.

"Beruntung kalau Presiden terpilih memiliki visi negarawan, kalau hanga memiliki visi kekuasaan, kepolisian bisa menjadi alat kekuasaan yang sangat efektif melalui kewenangan yang besar tersebut," katanya mengingatkan.

Sebelumnya, Dalam nota pembelaan yang dibacakan Arif Rachman, mantan Wakaden B Romapaminal Divpropam Polri yang kini berstatus terdakwa perintangan penyidikan kasus pembunuhan Brigadir J (obstruction of justice), di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (3/2/2023) menyebutkan, budaya organisasi Polri yang mengakar pada rantai komando, hubungan berjenjang yang disebut relasi kuasa bukan sekadar ungkapan melainkan suatu pola hubungan yang begitu nyata memberikan batasan tegas antara atasan dan bawahan. Arif mengatakan, pola ini yang kadang menyuburkan penyalahgunaan keadaan oleh atas terhadap bawahan, yang rentan penyalahgunaan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement