REPUBLIKA.CO.ID, KOPENHAGEN – Gelombang kesedihan yang mendalam, penyesalan dan kemarahan melanda dunia Muslim setelah politisi ekstremis Denmark-Swedia Rasmus Paludan membakar Alquran di luar masjid dan Kedutaan Besar Turki di Stockholm.
Paludan juga mengumumkan bahwa dia akan terus mengulangi tindakan ini sampai Swedia diterima ke dalam aliansi NATO, sesuatu yang dicari di tengah aksi militer Rusia melawan Ukraina.
Di bawah perlindungan polisi, provokator sayap kanan yang terkenal karena pandangan anti-Islamnya, membakar kitab suci umat Islam dan menyatakan, "Masjid ini tidak punya tempat di Denmark," kata Paludan dalam siaran langsung di halaman Facebooknya, sambil dilindungi personel polisi anti huru hara.
Dunia Muslim tentu saja memprotes dan mengutuk tindakan tersebut, termasuk Turki. Banyak negara mempertanyakan mengapa Paludan "penipu yang membenci Islam" diizinkan untuk membakar salinan kitab suci tersebut.
"Ini menunjukkan toleransi terhadap tindakan keji yang menyinggung kepekaan jutaan orang yang tinggal di Eropa, mengancam praktik hidup berdampingan secara damai dan memprovokasi serangan rasis, xenofobia, dan anti-Muslim," kata pernyataan Kementerian Luar Negeri Turki.
Denmark, sementara itu, telah mencabut Undang-Undang Penistaan Agama sejak 2017. Meskipun ketika masih berlaku, pelaku yang melanggar udang-undang penistaan agama hanya akan dihukum empat bulan penjara setelah dinyatakan bersalah, meskipun sebagian besar orang malah didenda. Tampaknya Paludan sangat yakin bahwa tindakannya itu memang tidak ditentang di negaranya.
Seluruh situasi ini menimbulkan pertanyaan atas sebuah negara di mana imigrasi Muslim tetap menjadi isu politik yang diperdebatkan, di mana partai-partai politik arus utama menerima gagasan untuk mengalihkan fasilitas suaka ke Rwanda untuk berhenti menampung pengungsi di Denmark, dan di mana tidak ada tindakan penegakan hukum yang diambil ketika politisi kanan yang terus melukai sentimen jutaan orang: apakah Denmark menghadirkan kasus kebencian anti-Islam dalam aksi?
Pemimpin komunitas Persatuan Muslim Denmark, Dr Urfan Zahoor Ahmed, mengatakan tidak dapat menyangkal adanya kebencian anti-Islam di Denmark.
Ditambah lagi, semua kegiatan yang mengarah pada aktivitas kebencian anti-Islam itu kerap dilakukan mengatasnamakan kebebasan berbicara, seperti halnya yang baru-baru ini terjadi.
Baca juga: Ketika Sayyidina Hasan Ditolak Dimakamkan Dekat Sang Kakek Muhammad SAW
“Sebenarnya sangat menyakitkan ketika orang-orang mengatakan bahwa itu hanya kebebasan berbicara, dan Anda harus menerimanya, ini tidak boleh menjadi kasus karena Anda sebagai minoritas Anda harus hidup berdampingan dengan pencemaran nama baik Nabi dan kitab suci Anda,” kata Ahmed.
Aktivis Muslim yang juga seorang dokter dan pengajar di Copenhagen University ini menambahkan, “Jika kita sebagai masyarakat menyatakan bahwa penyangkalan Holocaust, pornografi anak, penistaan agama, dan penentangan terhadap ratu tidak diterima, maka itu adalah pilihan dari masyarakat. Politisi (Denmark) telah memilih bahwa Paludan memiliki hak untuk membakar Alquran. Kita, sebagai masyarakat, harus memutuskan di mana batas kebebasan berbicara ini. Karena itu bukan tanpa batas."