Senin 06 Feb 2023 03:50 WIB

Tholabi Kharlie: Fikih Peradaban NU Kemaslahatan Hidup

Tholabi jelaskan,fikih peradaban NU mendudukkan hukum Islam untuk kemanusiaan.

Diskusi fikih peradaban NU yang dihadiri oleh Guru Besar Ilmu Hukum Syariah UIN Syarif Hidayatullah Prof Akhmad Tholabi Kharlie
Foto: Dokpri
Diskusi fikih peradaban NU yang dihadiri oleh Guru Besar Ilmu Hukum Syariah UIN Syarif Hidayatullah Prof Akhmad Tholabi Kharlie

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggagas Fikih Peradaban. Dalam rangka menyambut peringatan “Satu Abad NU” pada 7 Februari 2023 mendatang, PBNU menggelar Muktamar Internasional Fikih Peradaban I yang digelar di Surabaya, Jawa Timur. Fikih Peradaban yang digagas NU dinilai memberi kontribusi positif bagi kemanusiaan. 

Hal demikian disampaikan Guru Besar Ilmu Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie, dalam agenda “Bincang Media dengan Pakar Hukum Islam” di Surabaya, Ahad (5/2/2023). Menurut Tholabi, fikih peradaban yang digagas PBNU mendudukkan hukum Islam untuk kemanusiaan. “Inisiasi yang dilakukan PBNU ini memberi nilai positif untuk menempatkan fikih sesuai tujuannya yakni untuk kemaslahatan kemanusiaan,” ujar Tholabi di Surabaya. 

Dalam kesempatan tersebut, selain Tholabi, hadir pula guru besar UIN KH Achmad Siddiq (KHAS) Jember, M. Noor Harisuddin, serta guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya, Aswadi.  

Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) se-Indonesia ini melanjutkan, perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang cukup dinamis perlu diikuti dengan cara baca yang baru dalam melihat teks-teks sumber hukum Islam. “Dibutuhkan cara baca untuk mendekatkan disparitas antara teks-teks suci dengan realitas peradaban yang cukup dinamis ini,” terang Tholabi. 

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyebutkan sejumlah langkah. Pertama, menggali teks klasik peninggalan para pemikir Islam terdahulu untuk didialogkan dengan realitas saat ini untuk dicari titik temu di antara keduanya dan apa perbedaannya. “Serta pertimbangan konsekuensi apabila pandangan fukaha tempo dulu diterapkan pada realitas saat ini,” tambah Tholabi.

Langkah kedua, menurut pengurus PBNU ini, diperlukan upaya mendialogkan antara realitas peradaban saat ini dengan teks-teks syariat secara manhaji (metodologis), terutama dalam hal-hal yang tidak terdapat bandingan atau persamaannya di dalam aqwāl (pandangan) fukaha. “Dengan memikirkan segala kemaslahatan dan beban risiko kehancuran bagi umat manusia, sebagai inisiatif yang dapat menghadirkan stabilitas dan keamanan umat manusia. Ini butuh upaya kolaboratif pelbagai disiplin ilmu untuk membaca realitas ini dengan komprehensif,” sebut Tholabi.

Menurut Tholabi, gagasan fikih peradaban yang digagas PBNU ini patut direspons positif oleh kalangan sarjana Islam, khususnya di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam di Indonesia. Menurut dia, upaya kolaboratif kalangan ulama di pesantren dan sarjana di perguruan tinggi harus dirintis untuk menyemai pikiran konstruktif untuk kemaslahatan umat. “Kolaborasi kalangan pesantren dan perguruan tinggi harus lebih ditingkatkan. Momen fikih peradaban ini menjadi milestone penting untuk menghadirkan kolaborasi positif antara ulama dan kalangan sarjana Islam,” tandas Tholabi.

Dia berharap pelaksanaan Muktamar Internasional Fikih Peradaban I yang akan digelar sehari menjelang peringatan “Satu Abad Hari Lahir NU” dengan melibatkan sejumlah ulama internasional seperti Grand Syekh Al-Azhar Kairo Mesir beserta ratusan ulama internasional dapat berjalan dengan lancar dan menghasilkan pikiran-pikiran besar bagi kemajuan khazanah pemikiran fikih peradaban. “Kami berharap Muktamar Fikih Peradaban ini dapat berjalan dengan lancar dan menghasilkan pikiran besar untuk kemaslahatan peradaban kemanusiaan,” tutup Tholabi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement