REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Turk menyerukan diakhirinya eskalasi di luar nalar menyusul meningkatnya kekerasan antara Israel dan Palestina. Dia mengajak para pemimpin negara untuk segera bekerja menyelesaikan konflik mereka yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
"Daripada menggandakan pendekatan kekerasan dan pemaksaan yang telah gagal di masa lalu, saya mendesak semua orang yang terlibat untuk keluar dari eskalasi yang tidak masuk akal yang hanya berakhir dengan mayat, kehidupan yang hancur, dan keputusasaan total," katanya, dikutip dari Saudi Gazette, Senin (6/2/2023).
Turki mengatakan, rekor jumlah orang Palestina yang tewas di Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur selama 2022, juga telah mencatatkan jumlah kematian Israel tertinggi di Israel dan Tepi Barat yang diduduki selama bertahun-tahun.
Pada 2023 ini pun, dia menuturkan, pertumpahan darah banyak terjadi sehingga memicu lebih banyak kehancuran dan situasi yang lebih tidak stabil. Pada 2022 lalu, kantor hak asasi manusia PBB (OHCHR) mendokumentasikan 151 pembunuhan warga Palestina oleh pasukan keamanan Israel di Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur.
Ditambah satu anak laki-laki yang dibunuh oleh pasukan Israel atau seorang pemukim. Dua warga Palestina lainnya dibunuh oleh pemukim Israel. Banyak kasus yang melibatkan pasukan keamanan memicu kekhawatiran serius akan penggunaan kekuatan yang berlebihan dan pembunuhan sewenang-wenang.
Selama periode yang sama, 24 orang Israel terbunuh di dalam Israel dan di Tepi Barat yang diduduki oleh orang Palestina. Sementara itu, 34 warga Palestina dan tujuh warga Israel tewas sejak awal tahun ini.
Turki khawatir tindakan Israel baru-baru ini hanya akan memicu pelanggaran lebih lanjut dan pelanggaran hukum hak asasi manusia dan pelanggaran hukum humaniter internasional.
Turki juga menyinggung serangan akhir pekan lalu di Yerusalem Timur, ketika otoritas Israel bergerak untuk menutup rumah para tersangka pelaku. Lebih dari 40 orang ditangkap, dan dua keluarga diusir paksa. Israel telah mengusulkan langkah-langkah lain, termasuk mencabut dokumen identitas, hak kewarganegaraan dan tempat tinggal, dan tunjangan jaminan sosial kerabat tersangka penyerang, serta meningkatkan penghancuran rumah.
Tindakan tersebut, Turk menekankan, jika diterapkan dapat menjadi hukuman kolektif, yang secara tegas dilarang berdasarkan hukum humaniter internasional dan tidak sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional.
"Rencana pemerintah Israel untuk mempercepat dan memperluas lisensi senjata api untuk warga sipil, ditambah dengan retorika kebencian, hanya dapat menyebabkan kekerasan dan pertumpahan darah lebih lanjut," tambahnya.
Dia menegaskan, proliferasi senjata api akan meningkatkan risiko pembunuhan dan cedera baik bagi warga Israel maupun Palestina. Otoritas Israel harus bekerja untuk mengurangi ketersediaan senjata api di masyarakat. Terlebih, saat ini sudah ada beberapa laporan kekerasan antara pemukim Israel dan Palestina, khususnya di Tepi Barat yang diduduki selama sepekan terakhir.
"Daripada memicu kekerasan yang memburuk, saya mendesak semua orang yang memegang jabatan publik atau posisi otoritas lainnya untuk berhenti menggunakan bahasa yang menghasut kebencian terhadap yang lain, yang mengobarkan kebencian seperti itu merusak semua orang Israel, Palestina, semua masyarakat," katanya.