REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat hukum pidana Prof Hibnu Nugroho menilai sah-sah saja jika ada pandangan lain soal justice collaborator dari jaksa penuntut umum (JPU), terkait dengan tuntutan atas terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yoshua, Richard Eliezer. JPU mengurangi hukuman Eliezer dengan perbandingan tuntutan hukuman terdakwa Ferdy Sambo.
“Sah-sah saja jika ada pandangan lain terhadap konsep JC ini. Nanti kuncinya ada di majelis hakim. Apakah dikabulkan atau tidak,” kata Hibnu, Senin (6/2/2023).
Hibnu Nugroho mengatakan, seorang JC dihukum paling ringan di antara para terdakwa. Hal ini karena sudah memberi kontribusi dalam pengungkapan perkara. Sehingga reward yang diberikan adalah hukuman yang lebih ringan.
Dalam kasus Eliezer yang dituntut 12 tahun penjara, menurut Hibnu, JPU ada dilema, yaitu Eliezer sebagai JC, tapi dia adalah eksekutor. Namun, ada pula pandangan bahwa jika sudah menjadi JC, tidak dilihat posisi Eliezer berperan sebagai eksekutor atau tidak. "Ini kan terminologi JPU ya sah-sah saja, tapi terminologi UU bisa saja tidak seperti itu,” kata Hibnu.
Menurut Hibnu, konsep JC memang adalah hal baru di Indonesia. “Nampaknya dalam penerapannya perlu proses,” ujarnya.
Dalam kasus Eliezer ini, menurut Hibnu, JPU juga telah mengabulkan JC ini, dengan cara diperbandingkan dengan tuntutan Ferdi Sambo yang dituntut hukuman seumur hidup. “Jadi pengurangan hukuman (Eliezer--Red) di situ. Kalau tidak diberi reward, hukuman (Eliezer--Red) bisa 20 tahun,” kata akademi dari Universitas Jenderal Soedirman tersebut.
Agar tidak menjadi polemik berkepanjangan, Hibnu menyarankan agar masyarakat menunggu saja putusan majelis hakim. “Apa pun yang terjadi majelis hakim yang akan menentukan. Majelis hakim akan mempertimbangkan konsep JC seperti UU atau tidak,” katanya.