REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Perdana Menteri Australia Anthony Albanese akan mendorong dukungan bipartisan dalam referendum pembentukan komite konsultatif pribumi di parlemen. Rencana ini dilakukan saat dia bertemu untuk pertama kalinya tahun ini pada Senin (6/2/2023).
Albanese mengatakan, ingin mendapatkan kesepakatan sebanyak mungkin. "Ini harus di atas politik," katanya berharap untuk memperkenalkan undang-undang tersebut dalam masa parlemen saat ini.
Agendanya akan membentuk Voice atau Suara Pribumi yang dapat membuat representasi ke parlemen tentang kebijakan yang memengaruhi mereka.
Jika disahkan, itu akan menambah bahasa pada konstitusi untuk mengakui warga Pribumi Australia untuk pertama kalinya. Pengakuan dalam konstitusi ini tidak dapat diubah tanpa referendum.
Jajak pendapat oleh surat kabar Australia yang dirilis pada Senin, menunjukkan 56 persen pemilih mendukung perubahan konstitusi, dengan 37 persen menentangnya. Pemerintah Australia berusaha untuk memberikan lebih banyak pengakuan kepada orang-orang Aborigin yang telah menghuni tanah itu selama 60 ribu tahun tetapi berada jauh di bawah rata-rata kondisi nasional pada sebagian besar ukuran sosio-ekonomi.
"Saya sangat percaya warga Australia harus mengambil kesempatan yang akan mereka miliki di paruh kedua tahun ini untuk memberikan suara untuk ya, untuk memberikan suara untuk berjalan di jalur rekonsiliasi," kata Albanese kepada wartawan di Canberra.
"Itu mungkin membuat hidup beberapa orang, beberapa orang yang paling tidak beruntung di negara kita, hidup mereka menjadi lebih baik," ujarnya.
Oposisi pemerintah Partai Liberal belum mendukung referendum tersebut tetapi sebuah kelompok yang mencakup beberapa warga Pribumi Australia terkemuka dan anggota parlemen telah melancarkan kampanye menentangnya. Mereka mengatakan itu tidak akan menyelesaikan masalah yang mempengaruhi sekitar satu juta warga Pribumi di negara itu.
Kelompok itu juga terbentuk di antara kaum progresif. Seorang senator partai Hijau keluar dari partai dan pindah ke meja silang karena kekhawatiran tentang usulan agenda referendum. Dia menginginkan perjanjian antara pemerintah dan masyarakat adat, mirip dengan yang ada di Selandia Baru dan Kanada.
"Para anggota parlemen Hijau, anggota dan pendukung telah mengatakan kepada saya bahwa mereka ingin mendukung Voice. Ini bertentangan dengan komunitas aktivis yang mengatakan perjanjian sebelum suara," kata Senator Lidia Thorpe pada Senin.
Keputusan Thorpe yang keluar memperumit pengesahan undang-undang melalui senat, dengan suara minoritas dalam mendukung pemerintah. Kombinasi beberapa anggota independen dan Partai Hijau diperlukan untuk meloloskan undang-undang non-bipartisan.