REPUBLIKA.CO.ID, SUKABUMI -- Kasus campak di Kota Sukabumi di awal 2023 ini mengalami kenaikan yakni ditemukan tujuh positif. Hal ini didasarkan pada pemeriksaan terhadap 24 sampel kasus suspect campak.
''Pada Januari 2023 ada 24 kasus suspect atau dugaan campak, dan tujuh diantaranya hasilnya positif campak. Sementara sisanya masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium,'' kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Sukabumi Wita Darmawanti kepada Republika, Senin (6/2/2023).
Menurut Wita, tujuh kasus positif campak ini tersebar di beberapa wilayah. Di antaranya Sukakarya, Cikundul, Cikole, dan Cisarua.
Wita menerangkan, kasus campak ini sebagian besar karena anak tersebut belum mendapatkan imunisasi. Sehingga ke depan akan terus digalakan upaya imunisasi campak kepada warga.
''Campak bisa dicegah dengan imunisasi dasar dan posyandu menggiatkan lagi agar masyarakat sadar dengan kesehatan anak-anak. Di mana bagi orangtua yang mempunyai balita harus imunisasi campak,'' ungkap Wita.
Kalau imunisasi, lanjut Wita, tidak akan kejadian lagi kasus campak. Ke depan digiatkan lagi memonitor program imunisasi yang sebelumnya terdampak pandemi Covid.
Intinya, lanjut Wita, bangkit lagi untuk mencegah penyakit seperti campak. Rata-rata kasus campak karena tidak diimunisasi dan seharusnya semua sudah sadar agar anaknya diimunisasi agar kebal dengan penyakit campak.
Wita menuturkan, pada masa pandemi tenaga kesehatan fokus menangani Covid. Sehingga saat ini tenaga kesehatan fokus pada pelaksanaan imunisasi dasar karena perannya penting dalam mencegah campak.
Di sisi lain, peningkatan kasus campak terjadi juga pada 2022 lalu. Namun, kasus penyakit campak ini belum masuk kejadian luar biasa (KLB).
''Kasus campak di 2021 dua kasus campak dan pada 2022 naik jadi 6 kasus,'' ujar Wita. Kasus campak itu dilaporkan berada di wilayah Puskesmas Sukakarya, Sukabumi dan Nanggeleng.
Namun, lanjut Wita, tidak masuk pada KLB karena kasusnya tidak bersamaan dan tidak di satu tempat. Walaupun ada dua kasus di satu tempat, akan tetapi rentang waktunya berbeda atau berjauhan.
Di mana, masa inkubasinya tujuh hari dan dianggap KLB jika dalam dua kali masa inkubasi ada banyak kasus dan kemungkinan KLB. Namun dalam satu tahun lalu tidak ada kejadian tersebut.
Sebab lanjut Wita, dari 38 sampel yang dikirim diduga campak yang positif hanya enam kasus. Sementara puluhan sampel lainnya negatif campak.