BRIN: Tuntutan Penulisan Jurnal Internasional Sesuai Permenpan-RB
Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Fernan Rahadi
Ilustrasi Gedung Badan Riset Inovasi dan Teknologi (BRIN) | Foto: Republika/Thoudy Badai
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, menjelaskan, ketentuan untuk menulis jurnal internasional bagi peneliti merupakan hasil kerja minimal (HKM) yang diberlakukan bagi seluruh pejabat fungsional peneliti di seluruh Indonesia. Ketentuan itu bukan dikeluarkan BRIN, melainkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB).
"Itu bukan kebijakan BRIN, tetapi HKM yang diberlakukan bagi seluruh pejabat fungsional Peneliti di seluruh Indonesia sesuai Permenpan-RB Nomor 34 Tahun 2018 dan Permenpan-RB Nomor 20 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Peneliti," ujar Handoko kepada Republika, Senin (6/2/2023).
Handoko menjelaskan, HKM tersebut berlaku untuk empat tahun. Jika HKM tidak tercapai, maka peneliti masih diberikan kesempatan pada empat tahun kedua. Pada empat tahun pertama, tidak diberlakukan sanksi. Jika dalam empat tahun kedua tidak juga terpenuhi, maka barulah peneliti itu diberhentikan dari jabatan fungsional peneliti.
"Sesuai Permenpan-RB di atas, HKM ini untuk empat tahun, kalau tidak tercapai masih diberi kesempatan empat tahun kedua, baru setelah itu diberhentikan sebagai Jabatan Fungsional Peneliti," kata dia.
Handoko optimistis para peneliti di BRIN mampu memenuhi HKM itu asalkan mau berkolaborasi dalam melakukan penelitian. Dia menampik adanya persoalan keterbatasan dana dalam melakukan penelitian. Menurut Handoko, saat ini dana tidak diberikan dan dibagi ke semua periset, melainkan diberikan secara kompetitif.
"Tidak ada keterbatasan dana, yang ada adalah dana diberikan secara kompetitif yang bagus proposal dan rekan jejaknya. Jadi tidak diberikan dan dibagi ke semua periset seperti dulu. Skema mobilitas periset dan hibah riset saat ini tersedia lengkap, tetapi harus kompetisi," kata dia.
Peneliti BRIN 'dibebankan' untuk memenuhi target publikasi jurnal internasional dalam kurun waktu empat tahun. Jika target tersebut tidak tercapai, sanksi yang akan didapatkan oleh peneliti berupa pemecatan. Kebijakan itu dinilai bertolak belakang dengan tujuan memperbanyak SDM riset di Indonesia.
"Tahu tidak risikonya kalau kita tidak bisa penuhi empat tahun jurnal-jurnal internasional itu? Kita dipecat. Bukan dikurangi tunjangannya, bukan dihilangkan (tunjangannya)," ujar peneliti tata kelola dan konflik di BRIN, Poltak Partogi Nainggolan, Senin (6/2/2023).
Menurut dia, kebijakan tersebut kontra dengan tujuan pembentukan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) dan BRIN sendiri. Di mana, tujuan pembentukan keduanya adalah untuk memperbanyak SDM periset agar Indonesia dapat bersaing dan tidak kalah dari negara-negara lain, paling tidak di kawasan ASEAN.
"Kalau kita terancam dipecat massal dengan adanya ketentuan untuk menulis jurnal internasional empat tahun dengan jumlah tertentu, mana relevansinya? Bilangnya mau memperbanyak SDM periset, tapi di sisi lain dia siap menebas. Siap memensiunkan secara dini bahkan," kata dia.
Poltak menerangkan, urusan yang terkait dengan jurnal internasional membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ada biaya-biaya mencapai jutaan yang harus dikeluarkan untuk dapat menulis di jurnal internasional. Di sisi lain, kata dia, tunjangan yang dimiliki oleh seorang peneliti di BRIN tidak besar.
"Tunjangan kita ini kecil. Kalau disuruh per tahun berapa, jumlahnya dua atau sampai tiga kalau sudah peneliti utama, mengejar empat tahun dikasih waktu, kan sekali tulisan kan tidak langsung dimuat. Ya habis ke situ," jelas Poltak.