REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kini 'dibebankan' untuk memenuhi target publikasi jurnal internasional dalam kurun waktu empat tahun. Jika target tersebut tidak tercapai, sanksi yang akan didapatkan oleh peneliti berupa pemecatan. Kebijakan itu dinilai bertolak belakang dengan tujuan memperbanyak sumber daya manusia (SDM) riset di Indonesia.
"Tahu tidak risikonya kalau kita tidak bisa penuhi empat tahun jurnal-jurnal internasional itu? Kita dipecat. Bukan dikurangi tunjangannya, bukan dihilangkan (tunjangannya)," ujar peneliti tata kelola dan konflik di BRIN, Poltak Partogi Nainggolan, Senin (6/2/2023).
Menurut dia, kebijakan tersebut kontra dengan tujuan pembentukan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) dan BRIN sendiri. Di mana, tujuan pembentukan keduanya adalah untuk memperbanyak SDM periset agar Indonesia dapat bersaing dan tidak kalah dari negara-negara lain, paling tidak di kawasan ASEAN.
"Kalau kita terancam dipecat massal dengan adanya ketentuan untuk menulis jurnal internasional empat tahun dengan jumlah tertentu, mana relevansinya? Bilangnya mau memperbanyak SDM periset, tapi di sisi lain dia siap menebas. Siap memensiunkan secara dini bahkan," kata dia.
Poltak menerangkan, urusan yang terkait dengan jurnal internasional membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ada biaya-biaya mencapai jutaan yang harus dikeluarkan untuk dapat menulis di jurnal internasional. Di sisi lain, kata dia, tunjangan yang dimiliki oleh seorang peneliti di BRIN tidak besar.
"Tunjangan kita ini kecil. Kalau disuruh per tahun berapa, jumlahnya dua atau sampai tiga kalau sudah peneliti utama, ngejar empat tahun dikasih waktu, kan sekali tulisan kan tidak langsung dimuat. Ya habis ke situ," jelas Poltak.
Poltak berpendapat, semestinya yang menjadi fokus BRIN adalah menjawab kebutuhan riset nasional yang tidak sedikit. Beberapa di antaranya adalah riset-riset untuk mitigasi bencana, masalah lumbung pangan, kebijakan-kebijakan nasional, hingga riset yang terkait dengan ilmu sosial. Dia mengingatkan, BRIN menggunakan anggaran APBN yang merupakan uang pajak rakyat.
"Padahal BRIN itu makan anggaran APBN juga, uang pajak rakyat. Tapi yang berusaha dicari itu malah kebutuhan orang internasional. Seneng orang bule tuh, penerbit-penerbit internasional buku atau jurnal. Dia dikasih, apalagi untuk yang policy riset dikasih sesuatu yang masih baru. Yang seharusnya dia harus dapatkan itu dengan membayar konsultan," terang dia.
BRIN @brin_indonesia berkomitmen kuat meningkatkan kualitas iklim riset-teknologi dan inovasi di Indonesia, sehingga mampu berkontribusi dalam pembuatan kebijakan dan peningkatan ekonomi nasional berbasis sains.#KawanBRIN#BRIN#InovasiIndonesia pic.twitter.com/VCDMYQqj1U
— Science Badan Riset dan Inovasi Nasional (@science_BRIN) September 17, 2021