REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan rapat koordinasi dengan perwakilan Kementerian Kesehatan, tim Pengurus Besae Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dokter rumah tahanan (rutan) dan tim dokter dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto untuk membahas urgensi Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe yang meminta izin berobat ke Singapura. Hasil dari diskusi itu memutuskan menolak permintaan Lukas.
Adapun sebelumnya Lukas mengirimkan surat kepada Ketua KPK, Firli Bahuri. Dalam pesannya itu, Lukas menagih janji Firli untuk diizinkan melakukan perawatan medis di Singapura.
"Pendapat kemudian yang menjadi kesimpulan dari hasil rapat koordinasi tersebut tidak perlu kemudian dirujuk ke rumah sakit sebagaimana permintaan dari tersangka LE di Singapura," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (7/2/2023).
Ali menjelaskan, alasan penolakan itu lantaran Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia dinilai masih memadai untuk memeriksa kondisi Lukas. Sementara itu, lanjutnya, berdasarkan hasil asesmen dari PB IDI menyebutkan, keadaan Lukas bisa menjalani pemeriksaan.
"Dia (Lukas) punya kesadaran penuh artinya berkomunikasi untuk bisa dilakukan pemeriksaan, termasuk fit to trial bisa dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk kepentingan hukum," ujar dia.
"Jadi tentu itulah yang menjadi dasar KPK bagaimana kemudian menjawab surat yang diajukan tersangka LE," tambah Ali menjelaskan.
Ali juga kembali menegaskan, KPK tidak pernah memberikan janji apapun terhadap Lukas. Termasuk izin berobat ke Singapura. "Kami tegaskan, tidak ada janji dari KPK secara khusus kepada tersangka agar bisa berobat ke Singapura," ungkap dia.
Lukas ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi pengerjaan sejumlah proyek pembangunan infrastruktur di Papua. Dia diduga menerima uang dari Direktur PT Tabi Bangun Papua, Rijatono Lakka agar perusahaannya mendapatkan sejumlah proyek pembangunan infrastruktur di Papua.
Padahal perusahaan milik Rijatono tidak memiliki pengalaman dalam bidang konstruksi lantaran sebelumnya bergerak pada bidang farmasi.
Selain Lukas, Rijatono juga diduga menemui sejumlah pejabat di Pemprov Papua terkait proyek tersebut. Mereka diduga melakukan kesepakatan berupa pemberian fee sebesar 14 persen dari nilai kontrak setelah dikurangi nilai PPh dan PPN.
Setelah terpilih untuk mengerjakan sejumlah proyek, Rijatono diduga menyerahkan uang kepada Lukas Enembe dengan jumlah sekitar Rp 1 miliar. Di samping itu, Lukas Enembe juga diduga telah menerima pemberian lain sebagai gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya hingga jumlahnya miliaran rupiah. KPK pun sedang mendalami dugaan ini.