REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Sabar Sitanggang, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sibermu Yogyakarta
Artikel ini ditulis bukan untuk provokasi. Setelah reformasi 1998 yang menumbangkan rezim sentralistik Orde Baru, praktik otonomi daerah secara otentik dan komprehensif yang memberi ruang bagi perkembangan demokrasi dan politik di tingkat lokal dapat dirumuskan. Otonomi daerah yang merupakan anak kandung desentralisasi sebenarnya adalah khas pemberian negara, yakni pemberian kewenangan mengelola kebijakan dan keuangan oleh pengelola negara di tingkat nasional kepada pengelola negara di tingkat lokal, serta memperkuat local accountability.
Dalam perkembangannya, penguatan local accountability merambah ke ranah politik lokal yang ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh lokal, bukan saja di daerahnya masing-masing, namun juga di tingkat nasional sebagai legislator. Fenomena yang dikenal sebagai ‘Desentralisasi Politik’ ini terus berjalan sampai pemilu tahun 2019. Hal ini dimungkinkan karena sistem pemilu yang digunakan memang memberi peluang bagi munculnya tokoh lokal.
Desentralisasi politik telah membawa dampak yang menarik bagi perubahan dan dinamika politik di daerah dan Pusat. Para legislator daerah dan pusat dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui proses pemilu yang lebih demokratis. Kebijakan desentralisasi yang berkembang di tengah liberalisasi politik telah memungkinkan proses rekruitmen politik di daerah yang semakin terbuka bagi partisipasi masyarakat. Liberalisasi politik telah menempatkan partai politik memainkan peran sentral dalam proses rekruitmen politik di daerah. Desentralisasi politik dalam perjalanannya ditandai oleh menguatnya sistem pemilu yang lebih menjamin “rasa keterwalikan” dengan proporsional terbuka yang secara teoretis dapat menciptakan lembaga perwakilan di daerah yang lebih efektif melalui legislator-legislator yang dekat dengan konstituen.
Namun, di sisi lain, dengan beberapa alasan seperti maraknya praktik politik uang dan munculnya legislator non-kader, dan tumbuhnya politik bosisme, sejumlah orang dan partai politik mengajukan proposal untuk kembali ke sistem proporsional tertutup. Suatu sistem yang sangat terkenal dan sangat disukai oleh rezim Orde Baru ini, yang dalam praktik dan sejarahnya melahirkan bukan saja sistem partai yang sentralistik, yang hanya membuka peluang bagi intervensi elit-elit politik nasional di daerah. Bahkan, menyuburkan praktik KKN, khususnya Nepotisme.