REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah meluncurkan kenaikan dari B30 menjadi B35 yang tidak diikuti dengan rekomendasi perbaikan tata kelola sebagaimana yang diingatkan oleh masyarakat selama ini. Pasalnya, program itu hanya dinikmati oleh segelintir korporasi besar.
Karena itu, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) meluncurkan laporan baru untuk merespon peluncuran B35 tersebut. Langkah itu sekaligus mengingatkan pemerintah dalam perbaikan tata kelola biodiesel yang selama ini tidak transparan dan tidak melibatkan petani skala kecil dalam rantai pasok.
Melalui laporan SPKS tersebut ditemukan, sepanjang 2019-2021, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menghimpun dana pungutan ekspor CPO senilai Rp 70,99 triliun. Dalam waktu yang sama sekitar Rp 66,78 triliun mengalir untuk subsidi biodiesel atau 94,07 persen dari dana yang terhimpun.
Sekjen SPKS, Manseutus Darto mempertanyakan, kebijakan B35 ditujukan untuk siapa. Bercermin dari implementasi mandatori B30, sambung dia, terbukti bahwa kebijakan tersebut meningkatkan harga produk turunan sawit.
"Dampak dari kebijakan B35 ini adalah dapat meningkatkan harga pangan termasuk minyak goreng, selain itu harga tandan buah segar di tingkat petani juga akan tergerus karena mengikuti harga CPO," kata Manseutus dalam launching report 'Raksasa Penerima Subsidi' yang diselenggarakan oleh SPKS di Jakarta, Selasa (7/2/2023).
Anggota Komisi VI DPR, Herman Khaeron mengatakan, tujuan awal dibentuknya BPDPKS adalah untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit rakyat dan kemandirian petani dalam membentuk koloninya untuk memperkuat hilirisasi. "Penggunaan dana ini untuk biodisel merupakan pelanggaran keuangan yang dilakuakan oleh pemerintah, karena sejatinya dana tersebut bukan untuk biodisel," ujarnya selaku penanggap.
Juru Kampanye Hutan GreenPeace Indonesia, Arie Rompas mengatakan, kebijakan B35 meningkatkan potensi terjadinya kerusakan lingkungan karena permintaan CPO yang semakin tinggi. Menurut dia, kebutuhan CPO untuk B35 sebanyak 13 juta ton K/L. Hal itu mengharuskan untuk pembukaan lahan baru melalui doferestasi dan pelanggaran HAM dibagian hulu.
"Petani sawit harus berada pada posisi strategis dalam struktur industri sawit, terutama dalam komposisi BPDPKS sehingga memiliki peran penting dalam tata kelola industri sawit dari hulu sampai hilir," ujar Arie.