Rabu 08 Feb 2023 05:45 WIB

Korban Pelanggaran HAM Berat Menanti Kejujuran dan Kepastian

Langkah konkrit Presiden Jokowi sedang dinanti.

Red: Joko Sadewo
Aksi Kamisan di depan Istana Presiden menuntut penyelesaian pelanggaran HAM.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Aksi Kamisan di depan Istana Presiden menuntut penyelesaian pelanggaran HAM.

Oleh : M. Nasir Djamil, Anggota Komisi Hukum DPR RI.

REPUBLIKA.CO.ID,Dalam lomba lari, start yang baik akan menentukan kemenangan. Petuah itu juga ingin mengatakan sesuatu yang diawali dengan keragu-raguan biasanya mengundang ketidakpastian dan ketidakjelasan, bahkan berakhir dengan kekalahan dan penyesalan.  Inilah yang dialami para korban 12 (dua belas) pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada masa lampau yang telah dinyatakan oleh Komnas HAH, lembaga yang bertanggungjawab kepada presiden. Tiga dari dua belas pelanggaran HAM berat itu terjadi di Aceh. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh, peristiwa Jambo Keupo, dan peristiwa Simpang KKA. Meskipun Presiden Jokowi telah meminta maaf, mengakui, dan menyesalkan terjadinya 12 pelanggaran HAM berat itu, tapi kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu masih seperti orang menggantang asap.

Beberapa hari lalu, sekelompok aktivis HAM menggelar refleksi 16 tahun aksi kamisan dekat Istana negara. Seperti yang tertulis di sejumlah spanduk yang dibentangkan, mereka menolak keputusan presiden pembentukan tim penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat masa lalu. Ada lagi tulisan, “Presiden Jokowi jangan bohongi kami”. Pengakuan tanpa pertanggungjawaban sama dengan omong kosong. Kita tidak Cuma sekedar membicarakan santunan, yang harus dibongkar lebih dahulu adalah kebenaran. Deretan pernyataan tersebut menunjukkan bahwa mereka bukan hanya menolak, melainkan melihat bahwa Presiden Jokowi tidak sungguh-sungguh menyelesaikan secara tuntas dan bermartabat pelanggaran HAM berat masa lalu.

Pekan lalu saya juga sengaja bertemu dengan para korban dan keluarga korban peristiwa Simpang KKA, di salah satu warung kopi di Kreung Geukeuh, Aceh Utara. Lokasi pertemuan itu tidak begitu jauh dari tempat kejadian penembakan secara brutal oleh aparat militer di simpang jalan menuju industri kertas atau yang dikenal dengan simpang KKA, tahun 1999 silam. Mereka juga menolak keputusan presiden soal pembentukan tim tersebut. Apalagi santunan yang akan diberikan nanti berdasarkan berkas acara pemeriksaan (BAP) oleh Komnas HAM RI. Korban simpang KKA itu lebih kurang mencapai 100 orang. Sementara yang diBAP oleh Komnas HAM hanya 30 orang. Minimnya korban yang masuk dalam BAP dikarenakan alasan waktu dan pendanaan. 

Karikatural di atas memburatkan wajah pemerintah yang seolah-olah berada di persimpangan jalan. Bagaikan memakan buah simalakama. Dimakan mati ibu, tidak dimakan mati ayah. Menyelesaikan secara yudisial sudah menyerah karena sejumlah alasan, melanjutkan penyelesaian dengan cara nonyudisial juga seperti menabur garam di atas luka. Syarat khusus pelanggaran HAM berat masuk pengadilan sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pengadilan HAM ad hoc bisa digelar jika terjadi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, penyelidikan kasus HAM berat dilakukan oleh Komnas HAM yang diteruskan ke penyidik Kejaksaan Agung, dan Jaksa Agung melakukan penyidikan serta menangkap dan menahan para terdakwa pelanggaran HAM.