IGK MANILA; Pemerhati Sepak Bola, Purnawirawan Polri
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nasib sepak bola Indonesia, apakah akan bangkit dan berkembang atau terombang-ambing di tengah gelombang, akan ditentukan dalam Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI pada 16 Februari 2023. KLB akan memilih nahkoda dan awak utama PSSI yang meliputi Ketua Umum, Wakil Ketua Umum dan anggota Exco PSSI periode 2023-2027.
Kemajuan sepak bola nasional merupakan harapan seluruh rakyat, bukan hanya dari insan dan pencinta olahraga tersebut. Di tengah ombak dan gelombang persepakbolaan, bahkan badai yang mungkin saja kembali melanda, PSSI harus mampu menjadi kapal yang tangguh, yang mampu memulihkan marwah sepakbola di dalam dan luar negeri, yang disegani karena dedikasi dan prestasi.
Seiring dengan itu, wajib diingat oleh voters, pemilik suara dalam pemilihan ketua umum PSSI, bahwa dalam percaturan bangsa-bangsa di dunia, sepak bola adalah etalase bangsa Indonesia. Baik-buruk kondisi persepakbolaan nasional akan menjadi salah satu rujukan bagi bangsa-bangsa lain tentang apa dan bagaimana bangsa yang bernama Indonesia.
Sepak bola juga telah berkembang menjadi industri, bukan lagi semata-mata olahraga dalam arti tradisional. Kemajuan dan prestasi sepak bola Indonesia akan ditentukan oleh sejauhmana nahkoda dan awak PSSI mampu bekerjasama, menjalin kemitraan dengan beragam stakeholders—bukan hanya dengan pecandu sepak bola, awak media, dan lembaga-lembaga persepakbolaan internasional, tetapi juga dengan dunia bisnis di dalam dan luar negeri.
Oleh karena itu, dalam pandangan saya, calon Ketua Umum dan awak PSSI yang akan dipilih, pertama-tama, haruslah mereka yang memiliki visi nasionalis-industrialis yang kuat. Visi nasionalis diwajibkan karena tantangan akan kemajuan, ombak, gelombang dan bahkan badai dalam sepak bola memerlukan sandaran emosional yang kokoh, di mana atas dasar nasionalisme itu misi-misi persepakbolaan dijalankan.
Sementara visi industrialis diperlukan karena tanpa kapasitas bermitra, kemampuan untuk merangkul dan bekerjasama dengan beragam stakeholders di dalam dan luar negeri, nahkoda dan awak PSSI hanya akan membuat sepak bola Indonesia terombang-ambing di tengah lautan.
Kedua, calon Ketua Umum dan awak PSSI yang akan dipilih haruslah memiliki kapasitas manajerial yang hebat. Dalam hal ini bisa dilihat portofolio pengalaman berorganisasi profesional, baik di dalam maupun luar negeri, baik di dunia olahraga, usaha, maupun pemerintahan. Tanpa kapasitas manajerial yang kuat, para pengurus teras PSSI yang baru akan gagal membangun struktur yang efektif: mampu memberi dampak cepat, hebat dan konsisten.
Ketiga, PSSI memerlukan penyegaran dalam berbagai aspeknya. Dalam hal ini kehadiran wawasan, perspektif, pemikiran, dan cara kerja baru akan menjadi nutrisi yang menyehatkan dan menguatkan. Organisasi-organisasi moderen, termasuk lembaga-lembaga persepakbolaan di negara maju, terbiasa dengan masuknya pengurus-pengurus yang berasal dari berbagai sektor namun memiliki visi, misi dan kapasitas yang diperlukan.
Sehingga kriteria bahwa seorang calon Ketua Umum atau anggota Exco yang harus yang sudah lama berkecimpung di PSSI pada dasarnya tidak kuat. Bahkan, jika tanpa alasan visionaris dan manajerial, kriteria ini bisa jadi boomerang, di mana itu mengganggu kinerja PSSI, seperti penguatan status-quo atau kecenderungan menjalankan business as usual.