REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonomi syariah menjadi diskusi tiada henti di lingkungan kampus, sebab citra dan masa depan negeri ini banyak ditopang tradisi tersebut. Aceh merupakan daerah basis realisasi ekonomi syariah. Masyarakat di sana dianjurkan menabung di bank syariah dan mengakses segala layanan perbankan berbasis syariah.
Dalam hal usaha, pemerintah daerah setempat juga mendorong masyarakatnya mengikuti sertifikasi halal. Maksudnya adalah untuk menjamin para konsumen bahwa bisnis yang dijalankan halal. Predikat halal di Indonesia, sebagaimana dijabarkan Pengurus Majelis Ulama Indonesia KH Sholahudin Al-Aiyub, merupakan hasil proses berjenjang. Mulai dari pendaftaran, penelusuran bahan baku produk, fatwa halal MUI, sampai akhirnya sertifikat halal dikeluarkan. Proses ini ditangani Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag yang melibatkan unsur komunitas dan lembaga swasta sebagai pendamping, penyelia, dan auditor halal, MUI sebagai pemberi fatwa, dan BPJPH sebagai pihak yang mengeluarkan sertifikat.
“Proses ini dijalankan dengan kreatif dan transparan. Tiada lain adalah untuk kemaslahatan bersama. Halal kita itu merupakan jaminan produk yang berlabel tersebut tidak mengandung unsur yang haram dan najis, juga baik. atau halalan thayyiba,” kata anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI tersebut dalam diskusi terbatas di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Ar-Raniry Banda Aceh beberapa waktu lalu.
Diskusi ini dihadiri belasan dosen kampus tersebut. Mereka antusias untuk berpartisipasi aktif dalam memberikan jaminan halal kepada masyarakat.
Kiai Ayub menjelaskan, keterlibatan akademisi dalam hal tersebut sangat terbuka. Kampus dapat menjadi lembaga pemeriksa halal (LPH) yang kelayakannya akan ditentukan oleh BPJPH. Akademisi dari kalangan dosen dan mahasiswa akan dilatih menjadi pemeriksa halal. Bahkan yang memiliki kemampuan tertentu dapat ditingkatkan lagi menjadi auditor. Sarana berupa laboratorium sains juga sangat mungkin difungsikan menjadi laboratorium halal.
“Ini akan membuka ruang aktualisasi diri yang masif dan secara masif akan menggerakkan program halal hingga daerah pedalaman,” ujar kiai yang pernah jadi santri KH Sahal Mahfudz (1937-2014) Kajen Pati Jawa Tengah.
Wakil Dekan I FEBI UIN Ar-Raniry Hafas Furqani mengapresiasi diskusi tersebut. Meski digelar dadakan, pihaknya berterima kasih kepada Kiai Ayub dan Kepala Unit Syariah Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Muhammad Abdul Ghoni, yang menyempatkan diri datang ke kampusnya di tengah kesibukan meluncurkan Tapera Syariah di Banda Aceh.
“Diskusi dan kunjungan dua pakar ekonomi syariah ini bukan yang terakhir. Kami berharap nantinya pak kiai dan doktor Ghoni berkenan datang lagi untuk mengisi kuliah umum dan menginspirasi kami semua dengan optimisme kemajuan ekonomi syariah,” ujar doktor ekonomi syariah jebolan international islamic university of Malaysia (IIUM) tersebut.
Sementara itu, Dr Abdul Ghoni menjelaskan dunia kampus adalah komunitas strategis untuk memajukan ekonomi syariah. Bermula dari riset kreatif yang dilakukan sungguh-sungguh, ekonomi syariah tumbuh dalam skala kecil, kemudian meluas menjadi tradisi yang memberdayakan masyarakat.
“Tentu kita menginginkan berbagai pihak terlibat aktif mengembangkan ekonomi syariah,” ujarnya.