REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang pengusaha terkadang dihadapkan pada situasi yang membuatnya dapat meraih keuntungan besar.
Misalnya ketika negaranya krisis sehingga stok pangan mengalami kekurangan, sedangkan dia memiliki stok pangan melimpah, maka di situlah ia berpotensi mendapat keuntungan yang berlimpah-ruah. Sebab dia bisa menjualnya dengan harga yang tinggi.
Lantas, apakah boleh mengambil keuntungan secara berlebihan dari pembeli? Atau dengan kata lain, apakah boleh menjual barang dengan marjin keuntungan yang berlebihan atau berkali-kali lipat dari harga modalnya?
Penasihat Ilmiah Mufti Mesir, Syekh Dr Majdi Asyour memberi penjelasan tentang hal tersebut. Dia memaparkan, hukum menarik untung dari perdagangan sangat bervariasi.
Perdagangan atau transaksi jual-beli menjadi haram karena beberapa hal. Pertama, di dalamnya terdapat penipuan atau kebohongan. Kedua, pedagang menggunakan cara-cara ilegal yang mengakibatkan melambungnya harga berbagai komoditas (menimbun).
Ketiga, memonopoli. Keempat, memanfaatkan orang yang tidak tahu harga barang yang dimilikinya. Untuk contoh yang keempat ini, misalnya memborong suatu barang dari orang desa untuk dijual di perkotaan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Jangan mencegat kafilah dagang (sebelum mereka sampai di pasar). Dan janganlah orang kota menjual untuk orang desa."
Lalu perawi bertanya kepada Ibnu Abbas RA, "Apa maksud dari 'jangan menjual untuk orang desa'?" Lalu Ibnu Abbas menjawab, "Jangan jadi makelar (perantara) untuk mereka." (HR Bukhari)
Syekh Majdi Asyour menjelaskan, konsep yang terdapat dalam teks-teks syariat adalah adanya persentase keuntungan dari komoditas yang dijual berdasarkan kebiasaan, kondisi pasar, dan iklim usaha.
Hal itu berdasarkan keumuman sabda Nabi Muhammad SAW: "Biarkanlah orang-orang (berbagi rezeki) dengan cara Allah memberi rezeki kepada sebagian mereka dari sebagian yang lain." (HR Tirmidzi)
Patuhi aturan
Setiap pengusaha, pebisnis ataupun pedagang, kata Syekh Majdi Asyour, harus mematuhi peraturan dan sistem yang mengontrol pasar untuk mencegah kerugian baik kepada penjual maupun pembeli.
Syekh Asyour juga menekankan, dalam menentukan persentase keuntungan, itu disesuaikan dengan supply and demand serta kondisi ekonomi negara. Dengan demikian, melebih-lebihkan keuntungan atau mengambil keuntungan secara berlebihan itu dilarang dalam syariat Islam jika mengarah pada perbuatan buruk seperti monopoli dan pelanggaran terhadap hukum positif di sebuah negara.
"Dosanya akan terus bertambah jika melakukannya ketika negara ada dalam situasi yang krisis dan banyak orang yang menderita," jelasnya.