REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Secara perhitungan kelender hijriyah (lunar), Nahdlatul Ulama (NU) baru saja memperingati hari kelahirannya yang ke seratus tahun atau satu abad (16 Rajab 1344-16 Rajab 1444 H) yang tepat di hari Selasa 7 Februari 2023. Usia satu abad tentu bukanlah usia yang muda, meski untuk organisasi sebesar NU sekalipun.
Direktur Eksekutif SAS Institute DR Sa'dullah Affandy mengatakan, dalam satu abad pertama yang penting, NU telah melewati berbagai fase sejarah dengan penuh gejolak dan dinamika. Mulai dari era kolonialisasi Belanda, Jepang, Sekutu, era kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi dengan beragam presiden.
"Usia satu abad juga mau tidak mau membuat kita merefleksikan apa yang telah berhasil diraih NU dan tantangan apa yang ada di abad ke dua mendatang. Setidaknya, ada lima aspek keberhasilan yang bisa kita lihat secara kasat mata di abad pertama NU," kata Affandy, Rabu (8/2/2023).
Pertama, sebagai organisasi dengan jamaah para pelestari tradisi, NU telah berhasil mempertahankan diri sebagai organisasi dengan pengikut terbesar di Indonesia, bahkan dunia.
Kedua, sebagai organisasi dengan massa terbesar, NU berhasil memainkan peran dalam dinamika politik Tanah Air, mulai dari pra kemerdekaan, kemerdekaan, hingga pascakemerdekaan. Bahkan dalam mengatasi pemberontakan Partai Komunis Indonesia, NU menjadi organisasi sipil yang paling aktif terlibat dalam menumpas pemberontakan.
Ketiga, dalam konteks Pendidikan, NU dengan pesantrennya berhasil mengintegrasikan antara Pendidikan modern (sekolah formal) dengan tetap mempertahankan identitas pesantrennya. Hingga hari ini kita dapat menyaksikan pesantren NU semakin berkembang pesat dengan Lembaga Pendidikan formal yang ada di dalamnya.
Keempat, dalam dimensi kebudayaan, NU menjadi garda depan sebagai actor pelestari kebudayaan local, tradisi-tradisi yang oleh kalangan modernis diharamkan, justru dimodifikasi oleh NU menjadi sesuatu yang bernuansa Islam dan bermuatan dakwah sebagaimana ajaran para Wali Songo.
Kelima, NU menjadi penyokong utama beragam agenda pemerintah, terutama terkait isu radikaisme beragama di Indonesia, dan secara gemilang berhasil menjadi representasi Islam rahmatan lil alamin bagi dunia luar.
"Kita tidak dapat meramal masa depan, namun berpijak pada masa lalu dan realitas saat ini, banyak hal yang harus dilakukan oleh NU dalam menyongsong abad kedua, " katanya.
Di antaranya adalah, pertama, meski secara kuantitas menjadi mayoritas, namun faktanya NU masih memiliki banyak kelemahan baik di bidang ekonomi maupun Sumber Daya Manusia terutama terkait domain riset dan teknologi. Era di mana teknologi digital menjadi primadona, adalah sebuah keniscayaan bagi NU untuk melakukan pemberdayaan ummatnya di ranah ini.
Kedua, meski selalu berperan penting dalam setiap peristiwa politik di Tanah Air, namun secara politik NU kerap ditinggal ketika berbicara sharing kekuasaan. Dalam setiap Pemilu, suara NU selalu laku di pasaran para Caleg mapun kandidat di eksekutif, namun setelah itu NU sering ditinggalkan. Pengecualian adalah sosok KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berhasil menjadi Presiden RI ke-4.
Ketiga, pesantren berhasil eksis hingga saat ini, namun masih kental asumsi bahwa pesantren hanya melahirkan ulama yang menguasai kitab kuning dan memimpin tahlil atau ritual keagamaan. Ke depan, sesuai dengan tantangan poin pertama dan kedua di atas, pesantren harus mulai memikirkan kurikulum yang berorientasi pada penguasaan teknologi informasi bagi para santrinya.
Keempat, meski telah berkembang pesat dan kaum nahdliyyin tersebar di mana-mana, namun basis massa NU tetap adalah warga pedesaan sebagaimana Islam tradisional berada. Secara ekonomi, masih berada di kelas menengah ke bawah sehingga pekerjaan besar ke depan adalah menciptakan para saudagar baru di NU.