Rabu 08 Feb 2023 20:41 WIB

'Pemberantasan Korupsi di Indonesia Alami Kemunduran'

Pukat UGM menilai penurunan IPK Indonesia di antaranya disebabkan oleh pelemahan KPK.

Ketua KPK Firli Bahuri (ketiga kiri) bersama Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (ketiga kanan), Johanis Tanak (kedua kiri), Nurul Ghufron (kedua kanan), Sekjen KPK Cahya Harefa (kiri) dan Kepala Bagian Pemberitaan Ali Fikri (kanan) menyampaikan konferensi pers akhir tahun Kinerja dan Capaian KPK 2022 di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (27/12/2022). Berdasakan rilis Transparency International Indonesia (TII), indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan. (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua KPK Firli Bahuri (ketiga kiri) bersama Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (ketiga kanan), Johanis Tanak (kedua kiri), Nurul Ghufron (kedua kanan), Sekjen KPK Cahya Harefa (kiri) dan Kepala Bagian Pemberitaan Ali Fikri (kanan) menyampaikan konferensi pers akhir tahun Kinerja dan Capaian KPK 2022 di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (27/12/2022). Berdasakan rilis Transparency International Indonesia (TII), indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wahyu Suryana, Febryan A, Dessy Suciati Saputri 

 

Baca Juga

Peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM, Yuris Rezha Kurniawan menilai, terjadi kemunduran pemberantasan korupsi di Indonesia. Kondisi itu disebabkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi.

Tanda yang paling nyata adalah anjloknya peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang berada di posisi 110 dari 180 negara. Padahal, pada tahun sebelumnya dari laporan Transparency International, Indonesia sempat berada di peringkat 96.  

Yuris menilai, anjloknya IPK Indonesia kemunduran dalam sejarah pemberantasan korupsi pasca reformasi. Kemunduran pemberantasan korupsi ini turut disebabkan kekeliruan pemerintah dan DPR dalam merancang strategi pemberantasan korupsi.

"Terlihat dari pelemahan KPK lewat revisi UU KPK dan pengisian pimpinan yang bermasalah memiliki andil yang cukup besar terhadap penurunan IPK," kata Yuris, Rabu (8/2/2023).

Melihat ke belakang, berdirinya KPK awal 2000an memiliki dampak cukup positif dengan mengatrol IPK dari tahun ke tahun. Seusai KPK dibredel, mulai ada penurunan IPK karena tidak ada lagi lembaga pengawas yang ditakuti pejabat di level elite.

Selain itu, perlu dicermati tren penurunan IPK Indonesia berasal dari masifnya korupsi politik dan dunia bisnis, melibatkan pejabat level elite dalam penyusunan kebijakan. Sangat disayangkan, pengawasan sisi ini tidak disentuh sama sekali.

"Memang, pemerintah sudah mengupayakan pencegahan korupsi melalui digitalisasi atau kemudahan perizinan. Namun, saya merasa itu formulasi yang keliru karena hanya dapat menyasar pada level korupsi kecil-kecilan," ujar Yuris.

Ia menilai, korupsi politik dan korupsi kebijakan di level pejabat tinggi selama ini tidak tersentuh. Beberapa kasus korupsi akhir-akhir ini menunjukan pembuatan kebijakan level nasional sangat mudah diatur berdasarkan relasi bisnis pejabat.

Fenomena ini justru terjadi saat pemerintah sedang menggenjot investasi besar-besaran. Tentu ini patut dipertanyakan, apakah mungkin ada investor melakukan investasi di negara dengan tingkat korupsi politik yang semakin memburuk.

Terkait penegak hukum, ia melihat, bangsa Indonesia masih memiliki soal serius. Dibuktikan dengan Indikator World Justice Project masih jauh dibawah rata-rata. Namun, beberapa penanganan kasus korupsi besar oleh kejaksaan perlu diapresiasi.

Tetapi, ternyata belum pula optimal untuk mengembalikan aset besar hasil korupsi. Ditambah kepolisian dan MA yang sedang digoyang oleh kasus di internal masing-masing. Sedangkan, kerja-kerja KPK hari ini tidak begitu banyak bisa diharapkan. 

"Artinya, perlu ada perbaikan yang fundamental di sisi penegak hukum," kata Yuris.

Turunnya IPK Indonesia juga disoroti kalangan partai politik (parpol). Partai Ummat menilai, IPK Indonesia melorot karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak serius memberantas korupsi. 

Ketua Umum DPP Partai Ummat, Ridho Rahmadi mengatakan, Jokowi sejak awal terpilih pada tahun 2014 kerap berjanji memberantas korupsi, tetapi nyatanya tidak ada perbaikan setelah dia memimpin selama tujuh tahun. IPK tahun 2014 dan tahun 2022 sama-sama 34 poin. Padahal menurut pakar, IPK negara demokrasi yang sehat seharusnya 70 poin. 

"Partai Ummat menilai kondisi ini terjadi akibat langkah-langkah Jokowi yang tidak menunjukkan keseriusan dalam pemberantasan korupsi yang telah ditetapkan oleh Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) sebagai extra ordinary crime," kata Ridho dalam siaran persnya, Ahad (5/2/2023). 

Menurut Ridho, ketidakseriusan itu tampak ketika Jokowi dan DPR memperlemah peran KPK lewat revisi UU KPK pada 2019. Selain itu, pernyataan-pernyataan blunder dari para menteri kabinet Jokowi seperti Luhut Binsar Panjaitan dan Tito Karnavian turut memperburuk citra pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

Ridho lantas memprediksi efek dari penurunan IPK ini. Menurutnya, dengan IPK yang memburuk ini, maka Indonesia akan sulit mendapatkan investasi,  terutama investasi dari luar negeri. Kurangnya investasi tentu memperlemah usaha Indonesia untuk bangkit dari krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. 

"Hal ini menjadi tanda tanya bagi Partai Ummat tentang sensitivitas pemerintahan Jokowi dalam memandang problem besar bangsa Indonesia dimana keterkaitan antara perilaku koruptif dengan pembangunan ekonomi sangat berkorelasi signifikan," kata Ridho. 

 

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement