REPUBLIKA.CO.ID, MANOKWARI -- Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) bekerjasama dengan Universitas Negeri Papua (Unipa) menggelar acara sosialisasi KUHP baru di Hotel Swissbel Manokwari, Papua, Rabu (8/2). Acara ini dimaksudkan untuk menjelaskan kandungan legislasi tersebut kepada masyarakat luas.
Pengesahan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) merupakan peristiwa bersejarah. Sebab ketika masih berbentuk revisi UU KUHP, pembahasan dan proses pengesahannya berjalan panjang. Namun hal itu harus dilakukan untuk menjadikan KUHP yang menjadi acuan penegakkan hukum benar-benar produk anak bangsa, bukan lagi produk kolonial Belanda.
Narasumber yang hadir pada acara ini adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Prof Dr Pujiono SH, M. Hum, Guru Besar Ilmu Hukum dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Profesor Romli Atmasasmita, dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember (Unej), Prof. Arief Amrullah.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Romli Atmasasmita mengungkapkan, urgensi mengganti KUHP versi WvS dengan KUHP Nasional menjadi langkah penting karena terdapat perubahan menjadi paradigma retributif seperti Keadilan Korektif, Keadilan Restoratif, dan Keadilan Rehabilitatif.
“Penggantian sistem hukum menjadi KUHP Nasional juga merupakan amanah, TAP MPR II/MPR/1993 tentang GBHN, dan UU 17 tahun 2007 tentang RPJPN,” ujar prof Romli.
Menurutnya, mengganti peraturan perundangan dari Produk Kolonial menjadi Produk Nasional menjadi penting karena masyarakat sering kali melupakan fakta bahwa KUHP era kolonial sudah berusaha lebih dari 107 tahun sehingga dianggap tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hukum masyarakat.
“Perumusan KUHP Nasional menjadi penting karena sebagai perwujudan reformasi sistem Hukum Pidana Nasional yang menyeluruh dengan mengadopsi nilai Pancasila sebagai budaya bangsa,” jelasnya.
Pemateri lainnya, Prof. Arief Amrullah mengatakan saat ini, Indonesia telah memiliki UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. KUHP Baru disahkan tanggal 2 Januari 2023, terdiri dari Buku I dan Buku II, dengan jumlah Pasal sebanyak 624 pasal.
Menurutnya, masyarakat harus mengetahui mengapa KUHP turunan Belanda harus digantikan dengan KUHP Baru yang telah disusun oleh Pakar – Pakar Hukum terbaik Bangsa Indonesia.
"Alasannya diantaranya secara politik jika Indonesia masih menggunakan KUHP WvS, berarti Indonesia masih dalam jajahan Belanda, secara sosiologis, KUHP (WvS) tidak mendasarkan pada konteks Bangsa Indonesia itu sendiri." kata Prof. Arief.
Pembaruan Hukum Pidana Nasional mengandung empat misi perubahan mendasar antara lain, dekolonisasi, demokratisasi, konsolidasi, harmonisasi, dan modernisasi.
Dalam kesempatan yang sama, Prof Dr Pujiono SH M Hum memaparkan sejumlah isu aktual dalam KUHP Baru atau KUHP Nasional, diantaranya Living law atau hukum adat, aborsi, kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, perbuatan cabul, tindak pidana terhadap agama atau kepercayaan dan tindak pidana yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi.
“Perlu dipahami juga oleh masyarakat terkait dengan pasal 218 tentang penyerangan harkat dan martabat Presiden dan pasal 240 tentang penghinaan pemerintah atau lembaga negara. Pasal - pasal tersebut tidak membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat, karena dalam penjelasan pasalnya sudah diberikan bahwa kritik, unjuk rasa dan pendapat yang berbeda tidak dapat dipidana,” ujar Pujiyono.