Indonesia Terima Rp 718,46 Miliar untuk Pengelolaan Hutan Berkelanjutan
Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Yusuf Assidiq
Ilustrasi Hutan | Foto: pixabay
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia, rumah bagi hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, telah menerima pembayaran pertama sebesar 46 juta dolar AS (setara Rp 718.462.147.050) dari 103,8 juta dolar AS yang disetujui oleh Green Climate Fund (GCF). Ini menyusul keberhasilan Indonesia di bidang pengurangan emisi dari sektor kehutanan untuk 2014-2016.
Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) telah mentransfer dana ke Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), yang memiliki mandat untuk mengelola dana lingkungan.
BPDLH resmi dibentuk untuk menyalurkan dana lingkungan hidup dan iklim guna mendukung pencapaian komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia untuk mencapai net zero emission pada 2060, dengan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebagai bagian dari mandat dan komitmen global untuk mengatasi perubahan iklim.
Dana tersebut merupakan bagian dari skema pembayaran berbasis hasil/Result Based Payment (RBP) dari GCF untuk pengurangan emisi melalui implementasi REDD+. Peran UNDP, sebagai entitas terakreditasi GCF dan juga mitra tepercaya BPDLH dan Pemerintah Indonesia untuk program NDC, adalah memfasilitasi pembayaran dengan menggunakan modalitas Program Pembayaran Berbasis Kinerja (PBP) UNDP, yang bertujuan untuk memaksimalkan transparansi dan efektivitas dana.
Kepala Perwakilan UNDP Indonesia, Norimasa Shimomura menjelaskan, pendekatan manajemen proyek yang inovatif ini memungkinkan pencairan dana yang lebih cepat dari UNDP ke Pemerintah Indonesia dibandingkan melalui manajemen proyek konvensional, tanpa mengurangi kualitas implementasi dan tujuan penggunaan hasil.
Dana tersebut akan mempercepat dan menguatkan implementasi REDD+ dan berkontribusi pada Rencana Operasional Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030, yang merupakan komponen penting dari peningkatan NDC Indonesia pada 2022.
"Penyaluran dana tersebut dilakukan setelah hasil divalidasi oleh tim independen, yang menunjukkan kemajuan di kelima indikator program PBP yang ditinjau pada 2022," ujar Norimasa.
Pencapaian ini menunjukkan respons Indonesia terhadap ancaman perubahan iklim, dan mencerminkan pengakuan internasional dan peningkatan kepercayaan terhadap pengelolaan hutan berkelanjutan dan upaya konservasi lingkungan hidup yang dilakukan oleh pemerintah.
Sejalan dengan pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Rapat Koordinasi Nasional BPDLH, Indonesia harus berfokus pada rehabilitasi dan pemulihan lahan dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Pembayaran berbasis hasil yang diterima oleh Indonesia harus menjadi pendorong langkah-langkah lain dalam merehabilitasi dan memulihkan kawasan yang terdegradasi.
Menteri Keuangan pada saat yang sama menyampaikan Kemenkeu mendukung KLHK untuk mengambil tindakan untuk melanjutkan langkah penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Ia menyoroti BPDLH sebagai pengelola dana memiliki mandat untuk mengelola dan menyalurkan dana skema pembayaran berbasis hasil dari GCF untuk REDD+ sebagaimana diamanatkan dalam perjanjian.
Dalam pengalokasian RBP dari GCF untuk REDD+, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bertanggung jawab untuk memberikan arahan strategis pelaksanaan kegiatan untuk menghasilkan keluaran yang disepakati oleh kedua belah pihak, yang sejalan dengan strategi REDD+ Nasional, termasuk program prioritas KLHK.
Sedangkan Kementerian Keuangan melalui BPDLH bertanggung jawab untuk mengelola, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan dan dana. Norimasa menambahkan, ini adalah milestone bagi Indonesia dalam upaya memenuhi janji iklimnya, terutama dalam membangun inisiatif REDD+ sebagai katalis untuk pembangunan berkelanjutan.
"Dengan meningkatnya dampak krisis iklim, dekade berikutnya merupakan momen kunci bagi Indonesia dan dunia untuk memastikan pengelolaan hutan dan lahan secara berkelanjutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat," katanya.