REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perdebatan soal sistem pemilihan legislatif (Pileg) yang paling ideal diterapkan di Indonesia, apakah proporsional terbuka atau tertutup, terus bergulir. Sementara perdebatan berkutat soal kelebihan masing-masing sistem, pandangan berbeda datang dari anggota DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim.
Menurut Luqman, hal terpenting dalam memperbaiki sistem pileg atau pemilu adalah menutup celah politik uang. Sebab, kedua sistem pileg tersebut sama-sama punya ruang untuk praktik culas tersebut.
Dia menjelaskan, dalam sistem proporsional terbuka, politik uang terjadi di level akar rumput. Para calon anggota legislatif (caleg) marak membeli suara pemilih atau memberikan uang agar dirinya dipilih.
Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, politik uang terjadi di level elite. Para caleg memberikan uang kepada elite parpol agar bisa dicalonkan dan mendapatkan nomor urut teratas.
Karena itu, Luqman tak mempersoalkan sistem yang hendak dipakai asalkan celah politik uangnya ditutup. "Yang paling pokok adalah bagaimana upaya-upaya untuk memastikan kedua pilihan sistem itu, celah politik transaksionalnya bisa ditutup dari sisi regulasi maupun penegakan hukum," ujarnya dalam sebuah diskusi daring, Kamis (9/2/2023).
Luqman mengakui bahwa, dirinya kecewa dengan sistem proporsional terbuka yang diterapkan sejak Pemilu 2009, ternyata membuka ruang politik uang di akar rumput. Meski begitu, dia tidak mau pula tiba-tiba kembali ke sistem proporsional tertutup apabila belum ada regulasi yang bisa menutup praktik politik uang di level elite.
"Tiba-tiba kembali balik ke proporsional tertutup tanpa menyempurnakan regulasi untuk mencegah praktik transnasional di level elite partai, itu artinya sama saja," ujarnya.
Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota dewan ditentukan oleh partai lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999.
Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg yang diinginkan ataupun partainya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi parlemen. Sistem ini diterapkan sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019.
Berdasarkan regulasi, Pemilu 2024 kembali menggunakan sistem proporsional terbuka. Namun, regulasi itu kini digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Para penggugat, yang salah satunya merupakan kader PDIP, meminta MK memutuskan pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. MK kini masih memproses gugatan tersebut.
Sementara sidang bergulir, partai politik parlemen terpecah ke dalam dua kubu. Kubu pendukung sistem proporsional terbuka terdiri atas delapan parpol parlemen, mulai dari Golkar, Gerindra, PKB, hingga PKS. Sedangkan pendukung sistem proporsional tertutup hanya PDIP.