REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA–Pada 17 November 1922, sultan terakhir Kekaisaran Ottoman, Mehmed VI Vahideddin, melarikan diri dari Istanbul pada dini hari setelah mengetahui adanya ancaman terhadap keselamatannya, dan tidak pernah kembali.
Dalam ambulans yang dikemudikan penjaga Inggris, dia dibawa pergi bersama putranya yang berusia 10 tahun, Pangeran Mehmed Ertuğrul, dan dikawal ke kapal perang HMS Malaya oleh Jenderal Charles Harington, panglima tertinggi pasukan Sekutu. Pejabat istana Ottoman mengkonfirmasi kepergian penguasa mereka hanya beberapa jam kemudian.
Selama pekan-pekan berikutnya, Vahideddin berada dalam suasana hati yang reflektif. Dia tiba di Malta pada 9 Desember dan kemudian memilih Italian Riviera sebagai tempat pengasingannya.
Di kota peristirahatan San Remo, penguasa baru Italia Benito Mussolini berharap 'khalifah Ottoman yang agung' tinggal dengan nyaman di Italia. Tapi selama empat tahun berikutnya, Vahideddin selalu membawa revolver di sakunya, takut salah satu dari banyak tamu dan simpatisannya akan membunuhnya.
Ketika kematian datang pada 1926 dari arteri yang tersumbat, mantan khalifah itu tidak punya uang dan banyak hutang. Pihak berwenang Italia menyita peti mati sultan Ottoman terakhir sampai putrinya, Sabiha Sultan, menemukan cukup uang untuk penguburannya di pemakaman Damaskus.
Satu abad kemudian
Lalu setelah satu abad, pelarian dan kematian Vahideddin mungkin tampak menandai kehancuran besar dalam sejarah Turki, tetapi mereka ditanggapi dengan ketidakpedulian yang dingin pada saat itu.
Tidak ada upaya terkoordinasi untuk mempertahankan sultan, meskipun ada beberapa upaya terpisah. Di India, para pemimpin gerakan Khilafat (“Kekhalifahan”), yang mungkin diharapkan melindungi khalifah Islam, malah membela musuh besar Vahideddin, Mustafa Kemal Atatürk, dan Pasukan Nasional yang dipimpinnya.
Namun kondisi berubah dan menjadi pertanyaan besar saat pada satu abad berikutnya, tentang status kesultanan Utsmaniyah yang tumbuh dengan sangat cepat di Republik Turki.
Neo-Ottomanisme bangkit pada 1950-an, berkat sejarah revisionis yang meratapi keruntuhan Ottoman. Upacara kenegaraan yang megah pada 1953 menandai peringatan 500 tahun penaklukan Istanbul oleh Sultan Mehmed II.
Pada 1974, anggota laki-laki dari keluarga kerajaan Ottoman diberikan izin masuk ke Turki, 22 tahun setelah anggota perempuan dari dinasti tersebut diberi amnesti.
Ankara kemudian melangkah lebih jauh dan berjanji akan mengembalikan kewarganegaraan Turki mereka. Pewaris takhta disambut kembali, diperlakukan sebagai tamu terhormat dan diwawancarai pers.
Saat ini, ketertarikan Turki terhadap Utsmaniyah telah berubah menjadi fenomena global, melalui drama periode yang didasarkan pada intrik istana Utsmaniyah awal. Juga tidak hanya dalam imajinasi populer bahwa para sultan Ottoman tetap hidup, bangsawan yang sebenarnya masih ada.
Baca juga: Mualaf Prancis William Pouille, Kecintaannya kepada Arab Saudi Mengantarkannya ke Islam
Ketika Dündar Abdülkerim Osmanoğlu, pewaris terakhir tahta Ottoman, meninggal dunia pada usia 90 tahun pada Januari 2021, pengumuman resmi yang menandai kematiannya dikeluarkan di Twitter.
“Ayah dari keluarga kami dan dinasti Ottoman, paman kami Pangeran Dündar Abdülkerim Osmanoğlu meninggal dunia di Damaskus Suriah,” cuit Orhan Osmanoğlu, anggota kerajaan Ottoman lainnya dilansir dari New Lines Magazine, Jumat (10/2/2023).
“Baik melalui penggunaan referensi sejarah oleh Erdoğan dalam pidato kampanye, atau membanjirnya drama televisi berlatar masa lalu Utsmaniyah, kekaisaran tidak lagi memunculkan jenis kenegatifan atau kecaman yang sering terdengar pada masa Atatürk,” tulis Ryan Gingeras dalam bukunya buku sejarah baru yang megah, "Hari-Hari Terakhir Kekaisaran Ottoman.