REPUBLIKA.CO.ID., BRUSSELS -- Gempa yang melanda selatan Turki pada Senin (6/2/2023) termasuk yang paling besar di wilayah itu sejak 1668, menurut seorang ahli geologi Belgia.
“Getaran pertama sebenarnya gempa terbesar pertama atau kedua yang pernah tercatat di Turki (karena gempa bumi dicatat secara sistematis oleh instrumen seismologis)," kata Marc De Batist, seorang ahli geologi dari Universitas Ghent, dalam sebuah wawancara email dengan Anadolu Agency.
“Ini bersamaan dengan gempa bumi Erzincan tahun 1939 (33.000 korban jiwa) yang berkekuatan M 7,8,” ujar dia.
Gempa kedua merupakan "di antara 11 gempa bumi terkuat yang tercatat di negara itu sejak zaman bersejarah," tambah Batist.
Gempa berkekuatan M 7,7 dan M 7,6 yang berpusat di provinsi Kahramanmaras, itu juga dirasakan oleh 13 juta orang di 9 provinsi lainnya, yaitu; Adana, Adiyaman, Diyarbakir, Gaziantep, Hatay, Kilis, Malatya, Osmaniye, dan Sanliurfa.
Alasan utama skala kehancuran adalah hiposenter, titik asal gempa yang dangkal dan lebih dekat ke permukaan, menurut Batist.
“Semakin dangkal gempa, semakin kuat getaran yang dialami di atas tanah. Intensitas goncangan, bersama dengan durasi goncangan, yang menyebabkan sebagian besar kerusakan, ”jelas dia.
"Gempa kedua yang kuat menghantam area yang sama yang diguncang gempa pertama, yang membuat keadaan menjadi jauh lebih buruk," tambah Batist.
Daerah yang terkena gempa pada Senin terletak di Patahan Anatolia Timur, jadi "itu adalah peristiwa strike-slip, yang berarti bahwa dua bagian di kedua sisi patahan bergerak relatif horizontal satu sama lain," sebut dia.