REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Balon mata-mata Cina yang terbang di atas Amerika Utara selama lebih dari seminggu sebelum ditembak jatuh di atas Atlantik, membawa peralatan yang mampu mencegat dan melakukan geolokasi komunikasi. Seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) pada Kamis (9/2/2023) mengatakan, peralatan diidentifikasi oleh pesawat mata-mata U-2 yang dikirim untuk memeriksa balon tersebut.
“Peralatan balon di ketinggian jelas untuk pengawasan intelijen dan tidak sesuai dengan peralatan yang ada di balon cuaca. (Balon) itu memiliki banyak antena untuk memasukkan susunan yang kemungkinan mampu mengumpulkan dan melakukan geolokasi komunikasi," ujar pejabat itu, dilaporkan The Guardian.
Militer AS tidak memiliki wewenang untuk mengumpulkan intelijen di AS, sehingga dispensasi khusus diberikan kepada pengawasan pesawat U-2 untuk melakukan operasi kontra-pengawasan. Pejabat tersebut mengatakan, balon itu dilengkapi dengan panel surya yang cukup besar untuk menghasilkan daya yang diperlukan untuk mengoperasikan beberapa sensor pengumpulan intelijen aktif. Washington mengklaim, Cina telah menggunakan balon semacam itu untuk mengumpulkan intelijen di lebih dari 40 negara di lima benua.
Pentagon sejauh ini bersikeras bahwa, balon tersebut tidak punya kemampuan pengumpulan intelijen Cina. Sementara Partai Republik mengkritik pemerintahan Biden karena tidak menembak jatuh balon sebelum melintasi negara. Pentagon mengatakan, balon itu tidak menghadirkan ancaman serius dan tidak dapat ditembak jatuh di darat karena takut menimbulkan korban.
Pejabat dari Pentagon, Departemen Luar Negeri dan intelijen AS memberi pengarahan kepada anggota Kongres secara tertutup pada Kamis (9/2/2023). Laporan CNN mengatakan, intelijen belum mendapatkan informasi yang optimal dari balon mata-mata tersebut. Cina tampaknya berhenti mengirimkan informasi begitu AS menemukan kehadiran balon itu.
Asisten menteri pertahanan untuk urusan keamanan Indo-Pasifik, Ely Ratner, mengatakan, Pentagon telah berupaya menghubungi pejabat di Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) melalui saluran militer, tetapi tidak berhasil.
“Kami terus mengulurkan tangan, termasuk segera setelah jatuhnya balo. Sayangnya, hingga saat ini, PLA tidak menjawab panggilan itu," ujar Ratner.