Kepala BKKBN Ungkap Konsekuensi di Balik Childfree
Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Fernan Rahadi
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo | Foto: istimewa
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, ikut berkomentar perihal pilihan untuk tidak mempunyai anak alias childfree. Menurut Hasto, ada konsekuensi secara umum dan khusus yang harus dibayar apabila childfree diterapkan.
"Pertama, secara populasi, artinya pengaruh terhadap populasi penduduk secara keseluruhan itu sangat negatif. Karena kalau orang itu berprinsip childfree, maka di suatu negara itu akan mengalami yang namanya zero growth atau bahkan minus growth," ujar Hasto kepada Republika, Jumat (10/2/2023).
Kondisi tersebut akan membuat pertumbuhan penduduk di negara itu minus, yang mana semakin lama dapat menyebabkan penduduknya semakin habis. Sebelum mencapai titik itu, negara tersebut juga akan melalui suatu masa di mana orang berusia tuanya banyak, tapi tidak ada anak-anak maupun remajanya.
"Itu berbahaya. Kalau Indonesia terjadi seperti itu berbahaya sekali karena orang-orang tua di Indonesia itu pendidikannya rendah, ekonominya juga masih rendah. Sehingga kalau tidak ada yang nanggung dari anak-anaknya berbahaya," kata dia.
Hal itu dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan angka kemiskinan. Secara umum, kata Hasto, itu juga akan sangat mengganggu capaian bonus demografi yang Indonesia miliki di masa depan. Menurut dia, bonus demografi membutuhkan tenaga usia reproduksi yang melimpah.
"Nanti kalau generasi usia reproduksinya habis, berbahaya untuk kemajuan perekonomian suatu bangsa," jelas dia.
Di sisi lain, konsekuensi individu juga dapat terjadi apabila seorang perempuan memilih untuk childfree. Pria yang berlatar belakang sebagai dokter spesialis kebidanan itu menjelaskan, perempuan yang hamil hanya satu kali atau tidak pernah hamil sama sekali relatif lebih berisiko ada penyakit miom, yakni tumor pada rahim.
"Kemudian juga lebih berisiko kalau seandainya mereka yang tidak punya anak ini badannya gemuk, tensinya agak tinggi, kemudian dia juga ada kencing manis, maka lebih berisiko menderita kanker endometrium. Endometrium itu bagian dari rongga rahim," kata Hasto.
Hasto kemudian menjelaskan manfaat dari kehamilan. Ketika perempuan hamil, maka siklus menstruasinya beristirahat selama sembilan bulan. Setelah melahirkan dan menyusui, produksi ASI juga dia sebut dapat mengurangi risiko penyakit.
"Ini ada manfaatnya. Jangan kira tidak ada manfaatnya. Saya kira Tuhan membikin seperti ini ya memang sudah ada sistem ke-Esaan tuhan yang luar biasa," jelas Hasto.
Pada kesempatan itu, Hasto juga membahas soal resesi reproduksi atau resesi pernikahan untuk menghasilkan keturunan. Menurut dia, hal seperti itu masih jauh untuk dapat terjadi di Indonesia. Sebab, dia melihat di Indonesia dalam setahun ada 4,8 juta kehamilan dan 4,3 juta yang sampai melahirkan.
"Kemudian yang nikah itu mendekati 2 juta setahun. dan dari yang nikah mendekati 2 juta itu, sekitar 1,6 juta hamil di tahun pertama. Jadi data itu tidak bisa dimungkiri," kata dia.
Selain itu, alasan lainnya disebabkan oleh Indonesia yang termasuk negara dengan mayoritas penduduk beragama baik. Di mana, seseorang kawin memang memiliki tujuannya bukan sekadar rekreasi, tapi prokreasi atau berkreasi untuk menghasilkan anak.
"Kalau Indonesia, mohon maaf ya, tujuannya masih prokreasi untuk berkreasi menghasilkan anak. Makanya mayoritas begitu. Sebagian kecil lah, kecil sekali, yang persentasenya sekitar 1 persen yang mereka nikah kalo ditanya itu tidak ingin punya anak," ujar Hasto.