REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri membongkar kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sindikat internasional modus memberikan pekerjaan dengan gaji mencapai Rp 20 juta per bulan terhadap para korbannya. Sebanyak lima orang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus TPPO.
Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan, para korban dipekerjakan tidak sesuai perjanjiannya. Mereka justru dipekerjakan sebagai anggota pengelola judi online, pengelolah situs pornografi hingga penipuan. Para korban dikirim ke beberapa negara, mulai dari Kamboja, Australia, Korea Selatan hingga Inggris.
“Permasalahan bermula adanya laporan dari kedutaan besar Phnom Penh, Kamboja terkait adanya dugaan korban TPPO yang dipekrrjakan sebagai operator telemarketing scamming dan judi online,” ujar Djuhandhani, dalam konferensi pers di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (10/2).
Setelah mendapatkan informasi adanya TPPO, kata Djuhandhani, pihaknya langsung memulai penyelidikan dengan menggali keterangan daripara korban. Pihaknya juga menyita sejumlah barang bukti seperti dokumen perjalanan, perekrutan, bukti pengiriman uang, serta bukti percakapan antara korban dengan perekrut. Lalu penyidik pun melakukan penangkapan di Jawa Barat, Tangerang, dan Jakarta.
“Jaringan pertama yang diungkap dengan tersangka SJ, CR, dan MR. SJ dan CR ditangkap di Indramayu, Jawa Barat pada tanggal 24 september 2022. Yang bersangkutan berperan sebagai perekrut korban di daerah asal jawa barat,” ungkap Djuhandhani.
Lanjut Djuhandhani, untuk tersangka berinisial MR ditangkap di Tangerang pada 26 September 2022 lalu. Tersangka MR bertugas memproses keberangkatan termasuk membantu pengurusan paspor dan menyediakan tiket perjalanan.
Dengan penangkapan tersangka, kata dia, pihaknya berhasil mencegah sebanyak 22 orang calon korban. Mirisnya dua diantaranya masih di bawah umur.
"Pada saat penangkapan tersangka mr, tim berhasil mencegah dan menyelamatkan 22 orang calon korban yang akan diberangkatkan ke Kamboja dimana dua orang diantaranya anak dibawah umur. Perkara sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Indramayu,” terang Djuhandhani.
Selanjutnya setelah melakukan pengembangan, pada tanggal 27 Januari 2023 penyidik kembali menangkap tersangka, yaitu berinisial NJ dan AN di Jakarta Selatan. Keduanya memiliki peran sebagai perekrut, membantu proses pengurusan paspor, menyediakan tiket perjalanan, dan menjadi perantara dengan perekrut di negara Kamboja.
Penyidik juga menyita berbagai dokumen terkait perekrutan dan pengiriman pekerja migran secara ilegal. Di antaranya, sebanyak 87 buku paspor yang diduga milik para korban atau calon yang akan diberangkatkan.
“Ditemukan ratusan data pekerja migran yang dikirim oleh tersangka yang kami yakini semua ilegal, karena tersangka tidak memiliki perusahaan penempatan pekerja migran,” kata Djuhandhani.
Lebih lanjut, Djuhandhani menjelaskan berdasarkan fakta yang ditemukan, ersangka tidak hanya mengirimkan pekerja migran ilegal ke Kamboja. Melainkan tersangka juga mengirim para korban negara lainnya.
Sementara tercatat ada beberapa korban yang sudah dikirim dan dijanjikan akan dikirim ke Korea Selatan, Australia, Inggris, dan lainnya. Dari pengakuan tersangka, aksi tindak pidana TPPO itu dilakukannya sejak 2019 dengan pendapatan hingga puluhan miliar rupiah.
“Kami juga bekerjasama dengan Kementerian luar negeri dan Divhubinter Polri untuk membantu pengungkapan jaringan yang berada di luar negeri. Bekerjasama dengan direktorat siber bareskrim polri dan Kemenkominfo untuk melakukan patroli cyber dan melakukan pemblokiran akun akun yang digunakan untuk merekrut para korban,” tutur Djuhandhani.
Akibat perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara, minimal 3 tahun penjara, dan denda paling sedikit Rp 120 juta, paling banyak Rp 600 juta; dan atau Pasal 81 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 15 miliar.