REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong negara untuk tanggung jawab atas peristiwa ratusan anak terkena gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA). Sebab, ada hak warga negara yang hilang pada kasus itu, yakni hak hidup, hak kesehatan, hak tumbuh kembang anak yang dijamin oleh konstitusi.
"Ini ada hak-hak warga negara yang hilang loh, tidak sedikit, ada 327 orang, dan yang dihilangkan rata-rata hak anak-anak yang notabene adalah bayi yang tidak bisa membela dirinya sendiri," ujar Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra, dalam keterangan pers, Sabtu (11/2/2023).
Jasra mengatakan, peristiwa GGAPA ini menjadi tanggung jawab penuh dunia pengawasan perlindungan anak, dunia pengawasan peredaran obat dan makanan, kedokteran dan farmasi, dan aparat penegak hukum. Untuk itu, dia menilai penting semua pihak tersebut untuk duduk kembali mengevaluasi kebijakan yang ada.
"Evaluasi dalam efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak dalam mencegah terulangnya gagal ginjal akut anak yang menyebabkan kematian," jelas Jasra.
KPAI juga mengajak pihak-pihak terkait untuk kembali lakukan pengawasan, evaluasi, dan sosialisasi bersama-sama. Menurut dia, itu bukan kerja sendirian, butuh partisipasi banyak pihak mengatasi beredarnya obat yang di duga penyebab ginjal akut para bayi.
"Karena bisa jadi obatnya masih beredar dan dijual, bisa jadi sudah di tangan para orang tua, bisa jadi ada di penyimpanan obat kita. Artinya tidak mungkin sekaligus begitu saja ketika mengeluarkan kebijakan dapat tertangani efektif, butuh waktu, dengan bukti pengulangan kasus ini," kata dia.
Jasta mengatakan, KPAI akan mendorong Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk segera melakukan monitoring dan evaluasi peristiwa tersebut. Sebab, kebijakan penanganan GGAPA sudah sangat jelas, tetapi kenapa di lapangan masih terjadi.
"Begitu juga kebijakan pengawasan obat dan makanan yang nyata-nyata datanya meningkat pada kasus-kasus yang terus berkembang setelah GGAPA. Seperti kasus KLB Campak dan Diabetes. Karena jika hak anak tidak berjalan beriringan, hak lainnya juga rentan dilanggar dan anak berada dalam situasi yang lebih buruk," ujar Jasra.