REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- IM57+ Institute menilai, rekomendasi penarikan Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto serta Direktur Penyelidikan KPK Endar Priantoro ke instansi asalnya, yakni Polri mengindikasikan bahwa dugaan intervensi kasus betul-betul nyata. Kelompok para mantan pegawai lembaga antirasuah ini pun mendesak agar Firli Bahuri dinonaktifkan sementara dari jabatannya sebagai Ketua KPK.
"Jabatan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK harus dinonaktifkan sampai fakta sesungguhnya terungkap. Tetap duduknya Firli dalam jabatan Ketua akan berpotensi menyebabkan KPK terus digunakan sebagai alat gebuk politik dengan keleluasaan Firli Bahuri menempatkan orang-orang pilihannya," kata Ketua IM57+ Institute, M Praswad Nugraha di Jakarta, Sabtu (11/2/2023).
Terlebih pada kesempatan yang lalu, Nawawi (Wakil Ketua KPK) sempat menyindir di media tentang adanya praktik one man show di dalam tubuh KPK. Tindakan penonaktifan ini merupakan standar umum yang digunakan dalam proses investigasi independen,\" tambahnya menjelaskan.
Praswad mengatakan, persoalan ini tidak boleh dilepaskan dari kontroversi saat kembalinya Direktur Penuntutan KPK Fitroh Rohcahyanto yang juga diisukan mengundurkan diri terkait penanganan kasus Formula E. Meskipun, KPK membantah hal itu dan menyebut Fitroh memilih kembali ke Kejaksaan Agung, instansi asalnya atas keinginan sendiri.
Selain itu, IM57+ Institute juga meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus membentuk Tim Independen. Tujuannya, untuk membuka proses investigasi dalam rangka memeriksa Firli Bahuri dan mengungkap dugaan motif dibaliknya.
"Presiden tidak boleh tinggal diam melihat KPK semakin jauh dari prinsip-prinsip penegakan hukum yang mengedepankan due process of law dan independensi dalam pemberantasan korupsi," ujar dia.
Praswad menyebut, apabila terbukti benar bahwa proses mutasi Deputi Penindakan, Direktur Penuntutan dan Direktur Penyelidikan terkait dengan rekayasa kasus Formula E, Tim Independen ini juga wajib menggali informasi dari ketiganya untuk membongkar seluruh dugaan praktik kriminalisasi dan rekayasa perkara yang pernah terjadi pada era Firli Bahuri. Sehingga persoalan ini dapat terungkap dengan jelas.
"Buktikan dengan seterang-terangnya. Dengan catatan riwayat kerja Dewan Pengawas (Dewas), mengandalkan Dewan Pengawas bukanlah opsi yang dapat dipilih untuk mengurai benang kusut dugaan praktek rekayasa perkara. Diamnya Presiden sama saja menyetujui tindakan Firli Bahuri," jelas dia.
Terlebih, lanjut Praswad, selama ini Deputi Penindakan beserta jajarannya dikenal selalu seiring dan sejalan dengan Firli Bahuri pada banyak kesempatan. Termasuk pada saat tragedi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap 57 pegawai KPK yang terjadi pada tahun 2021.
"Jangan sampai KPK hanya jadi ajang rebutan panggung antar pemangku kebijakan di sana. Publik harus secara jeli melihat bahwa kontroversi ini hadir pasca revisi UU KPK dan dipilihnya orang-orang yang mempunyai jabatan di KPK dengan rekam jejak yang dipertanyakan publik," katanya.