REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Iran pada Sabtu (11/2/2023) merayakan ulang tahun ke-44 Revolusi Islam 1979 di tengah protes anti-pemerintah nasional dan meningkatnya ketegangan dengan Barat.
Ribuan orang Iran berbaris melalui jalan-jalan utama dan alun-alun yang dihiasi dengan bendera, balon, dan plakat dengan slogan-slogan revolusioner dan religius.
Sementara militer memamerkan rudal balistik dan rudal jelajah Emad dan Sejjil, serta drone Shahed-136 dan Mohajer.
Aksi protes nasional besar-besaran terjadi di Iran pada September setelah kematian Mahsa Amini (22 tahun) di tahanan.
Amini merupakan seorang wanita Kurdi yang ditahan oleh polisi moralitas negara karena mengenakan pakaian yang tidak sesuai aturan negara. Aksi protes kemudian berubah menjadi seruan untuk revolusi baru.
Dalam pidatonya di Lapangan Azadi di Ibu Kota Teheran, Presiden Ebrahim Raisi menyebut protes anti pemerintah merupakan proyek musuh Iran yang bertujuan untuk menghentikan negara tersebut melanjutkan pencapaiannya.
Raisi menyebut perayaan revolusi Iran menunjukkan "integritas nasional". Raisi juga memuji pencapaian pasca-revolusi di negara tersebut.
Pernyataan Raisi mendorong orang banyak untuk meneriakkan "Matilah Amerika Serikat".
Massa mengibarkan bendera Iran, meneriakkan slogan-slogan dan membawa plakat dengan slogan-slogan tradisional anti-Barat seperti "Matilah Amerika" dan "Matilah Israel."
Beberapa orang membakar bendera Amerika Serikat dan Israel. Aksi ini biasa dilakukan dalam unjuk rasa pro pemerintah.
Perayaan 44 tahun revolusi Iran di Teheran pada Sabtu dimulai dari beberapa titik dan berkumpul di Lapangan Azadi. Tayangan televisi menunjukkan ratusan orang di kota besar dan kecil berpartisipasi dalam perayaan itu. Perayaan revolusi Iran adalah unjuk kekuatan bagi para pengunjuk rasa anti-rezim.
Iran mengerahkan kekuatan berlebiham untuk membubarkan protes anti-pemerintah. Sejauh ini Pemerintah Iran belum menyebutkan jumlah korban tewas secara keseluruhan atau jumlah orang yang telah ditangkap.
Namun, para aktivis di luar negeri mengatakan sedikitnya 528 orang telah tewas dan 19.600 orang ditahan.
Pekan lalu, media pemerintah Iran mengatakan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei memerintahkan untuk memberikan amnesti atau pengurangan hukuman penjara terhadap "puluhan ribu" orang yang ditahan selama protes.
Mengacu pada amnesti tersebut, Raisi mendesak mereka yang "ditipu oleh musuh" untuk "segera kembali ke Iran". Dia berjanji pemerintahannya akan memberikan pengampunan kepada mereka.
Revolusi Islam dimulai dengan meluasnya kerusuhan di Iran ketika pemerintahan monarki yang dipimpin Shah Mohammad Reza Pahlavi. Dia yang mengalami sakit parah karena kanker, diam-diam melarikan diri dari Iran pada Januari 1979.
Baca juga: Mualaf Prancis William Pouille, Kecintaannya kepada Arab Saudi Mengantarkannya ke Islam
Kemudian Ayatollah Ruhollah Khomeini kembali dari pengasingan dan pemerintah digulingkan pada 11 Februari 1979, setelah berhari-hari terjadi demonstrasi massa dan konfrontasi antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan.
Kemudian pada April, rakyat Iran memilih untuk menjadi Republik Islam, yaitu sebuah teokrasi Syiah dengan Khomeini sebagai pemimpin tertinggi pertama negara itu. Khomeini memegang keputusan akhir tentang semua urusan negara.
Beberapa bulan kemudian, Washington mengizinkan Pahlavi masuk ke Amerika Serikat untuk pengobatan kanker di New York. Kemarahan memuncak di Teheran yang menyebabkan pengambilalihan Kedutaan Besar Amerika Serikat pada November 1979 oleh mahasiswa militan. Krisis sandera berikutnya mengobarkan permusuhan selama beberapa dekade.