TBC tidak Segera Tertangani, Ini Bahayanya
Red: Yusuf Assidiq
Petugas puskesmas mengadakan kegiatan skrining tuberkulosis kepada warga yang meliputi pemeriksaan rontgen thorax, pemeriksaan dahak dan tes mantoux, untuk mengurangi penularan penyakit tuberkulosis paru (ilustrasi). | Foto: Republika/Putra M. Akbar
REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Sosialisasi literasi yang berisi pengetahuan serta pencegahan terhadap penyakit Tuberkulosis (TBC) terus digelar di sejumlah daerah. Salah satunya di Kabupaten Banyumas oleh Direktorat Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Menghadirkan narasumber yang berkompeten di bidangnya, dr Teguh Budi Santosa, warga Banyumas secara langsung menyimak pengetahuan tentang bahayanya penyakit TBC bagi kesehatan manusia.
Dalam keterangannya dr Teguh Budi Santosa menyampaikan, TBC dapat disembuhkan jika dilakukan pengobatan dengan tepat dan cepat.
Jika tidak, maka kuman-kuman TBC akan menjadi kebal terhadap pengobatan atau biasa disebut Tuberculosis Multi-drug Resistant (TB MDR) atau Tuberculosis Extensively-drug Resistant (TB XDR).
"Saat ini seluruh puskesmas di Indonesia telah melakukan penanganan TBC, namun tingkat kesadaran masyarakat dalam mengetahui dan memahami ciri, bahaya, serta pengobatan TBC belum sepenuhnya baik," katanya.
Sosialisasi yang disampaikan dokter spesialis Paru dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto tersebut diharapkan dapat menambah referensi warga akan literasi kesehatan pencegahan TBC.
Selain dapat memberikan pemahaman dan membangun kesadaran masyarakat akan bahaya TBC, sosialisasi literasi ini juga diharapkan dapat membuat masyarakat semakin paham, tentang pencegahan terhadap penyakit menular yang disebabkan karena kuman Mycobacterium Tuberculosis tersebut.
Penyakit yang menyerang tubuh, utamanya paru-paru masih menjadi masalah kesehatan terbesar di dunia setelah HIV. Data Global TB Report 2021 memperkirakan, ada 824.000 kasus TBC di Indonesia.
Sayangnya, hanya sekitar 393.323 atau antara 48 hingga 52 persen yang ditemukan, diobati, dan dilaporkan ke dalam sistem informasi nasional. Dari 824 ribu kasus TBC yang ditemukan di Indonesia tersebut, 93 ribu di antaranya meninggal dunia atau setara dengan 11 orang meninggal setiap jamnya karena TBC.
Terkait jumlah kasus tersebut, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TBC yang menetapkan target eliminasi TBC pada 2030, yaitu penurunan angka kejadian (incidance rate) TBC menjadi 65 per 100 ribu penduduk.
Tak hanya itu, pemerintah juga menetapkan target penurunan angka kematian akibat TBC menjadi 6 per 100 ribu penduduk di Indonesia. Pada pada 2022 penyakit TBC di Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia, menyusul kemudian India dan China.