Senin 13 Feb 2023 06:07 WIB

AS Didesak Sahkan RUU Perlindungan Etnis Uighur

Sebelumnya, Kongres AS mengesahkan the Uyghur Human Rights Policy Act pada 2020.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Minoritas Uighur sedang duduk di stasiun Guangzhou, Cina (ilustrasi). Sejumlah aktivis Uighur dan puluhan pembela hak asasi manusia (HAM) mengggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Capitol Amerika Serikat (AS), Sabtu (11/2/2023) sore waktu setempat.
Foto: Alex P./EPA
Minoritas Uighur sedang duduk di stasiun Guangzhou, Cina (ilustrasi). Sejumlah aktivis Uighur dan puluhan pembela hak asasi manusia (HAM) mengggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Capitol Amerika Serikat (AS), Sabtu (11/2/2023) sore waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sejumlah aktivis Uighur dan puluhan pembela hak asasi manusia (HAM) mengggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Capitol Amerika Serikat (AS), Sabtu (11/2/2023) sore waktu setempat. Mereka mendesak pemerintah dan Kongres AS segera mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) tentang perlindungan masyarakat Uighur di Cina.

"Kami mendesak pemerintah dan Kongres AS  mengambil tindakan lebih lanjut untuk meminta pertanggungjawaban Cina atas genosida serta kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Presiden Asosiasi Uighur Amerika Elfidar Iltebir dalam orasinya, dikutip laman Al Araby. 

Baca Juga

Dia pun menyerukan pengesahan the Uyghur Policy Act dan Uyghur Human Rights Protection Act. "Kami ingin melihat upaya bipartisan penuh untuk meloloskan RUU Uighur saat ini di Kongres ke-118 sehingga kita dapat terus menekan PKC (Partai Komunis Cina) untuk menghentikan genosida Uighur dan membebaskan orang yang tidak bersalah dari kamp (interniran)," ujar Iltebir. 

Sebelumnya, Kongres AS mengesahkan the Uyghur Human Rights Policy Act pada 2020 dan the Uyghur Force Labour Prevention Act pada 2021. Itu respons atas dugaan kejahatan kemanusiaan, termasuk kerja paksa, yang dilakukan Cina terhadap etnis Uighur di Xinjiang. Negeri Paman Sam melarang barang-barang yang diproduksi di Xinjiang memasuki negaranya. 

Pada 31 Agustus 2022, mantan komisaris tinggi PBB untuk HAM Michelle Bachelet merilis laporan setebal 48 halaman. Dalam laporannya, Bachelet mengungkapkan, kejahatan kemanusiaan mungkin telah terjadi pada minoritas Uighur di Xinjiang. 

"Tingkat penahanan sewenang-wenang dan diskriminatif terhadap warga Uighur dan kelompok mayoritas Muslim lainnya dengan konteks (dalam) pembatasan serta perampasan hak-hak dasar secara lebih umum dapat merupakan kejahatan internasional, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan," demikian bunyi salah satu kalimat dalam laporan Bachelet. 

Laporan Bachelet tak dapat mengonfirmasi tentang dugaan adanya 1 juta warga Uighur yang ditahan secara paksa di kamp-kamp interniran di Xinjiang. Namun laporan tersebut menyimpulkan penahanan sewenang-wenang yang sistematis memang terjadi di Xinjiang antara 2017 dan 2019. 

Sejauh ini, Cina selalu membantah adanya pelanggaran HAM sistematis, termasuk penahanan sewenang-wenang terhadap masyarakat Uighur, di Xinjiang. Namun Beijing tak membantah tentang keberadaan kamp-kamp di wilayah tersebut. 

Pemerintah Cina mengeklaim, kamp-kamp tersebut merupakan pusat pendidikan vokasi. Mereka didirikan untuk memberi pelatihan keterampilan pada warga Uighur. Dengan demikian mereka dapat bekerja dan angka pengangguran di Xinjiang bisa menurun.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement