Senin 13 Feb 2023 05:59 WIB

Pakar Soroti Proses Kasus Helikopter AW-101 di KPK

Saat dilakukan praperadilan terbukti kasus itu layak untuk dilanjut ke persidangan.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Erik Purnama Putra
Helikopter Agusta Westland (AW) 101 terparkir dengan dipasangi garis polisi di Hanggar Skadron Teknik 021 Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (9/2).
Foto: Republika/Pool/Widodo S Jusuf
Helikopter Agusta Westland (AW) 101 terparkir dengan dipasangi garis polisi di Hanggar Skadron Teknik 021 Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (9/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Persepsi Korupsi (IPK) melorot hingga empat poin pada 2022, dan kian disoroti oleh publik. Hal itu dipengaruhi oleh beberapa kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diklaim berjalan di luar kewenangan, salah satunya kasus pengadaan Helikopter AW-101.

Pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, menuding, proses hukum kasus Helikopter AW-101 terlihat dipaksakan sejak dimulai penyelidikan tahun 2017. "Saya tergelitik, audit harusnya dilakukan BPKP, bukan internal KPK. KPK tidak punya kewenangan untuk melakukan audit," ucapnya dalam diskusi bertajuk 'Persepsi Korupsi Melorot, Kinerja Pemberantasan Korupsi Disorot' di Jakarta, Ahad (12/2/2023).

Margarito mengakui, memang saat dilakukan praperadilan terbukti kasus itu layak untuk dilanjut ke proses persidangan. Tetapi bagi Margarito, tetap masih ada masalah dalam pelaksanaannya. "Kita tidak mau ada pemberantasan korupsi yang prosesnya di luar kewenangan. Begitu hukum bobrok, habis bangsa ini!" katanya menegaskan.

Dalam IPK disebutkan Indonesia berada di angka 34, turun dari sebelumnya 38. Selain itu, posisi Indonesia juga berada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei. Transparency International Indonesia (TII) menyebut, rilis IPK Indonesia 2022 mengacu pada delapan sumber data dan penilaian ahli, untuk mengukur korupsi sektor publik pada 180 negara dan teritori.

Menurut Margarito, pemberantasan hukum memang dipolitisasi. Dia pun mempertanyakan arah politisasi hukum tersebut. Pasalnya, keadilan merupakan jantung bangsa. Sehingga politisasi kasus hukum harusnya bisa memastikan keadilan yang utuh bagi setiap insan bangsa.

Anggota Komisi III DPR, Wayan Sudirta, mengingatkan, Ketua KPK Firli Bahuri tidak boleh melakukan hal di luar kewenangannya. Dia menilai, banyak hal di KPKyang harus dibenahi, seperti lemahnya integritas dan kualitas penegak hukum di bidang seperti pengadaan barang dan jasa serta perizinan.

"KPK juga kurang kordinasi dan supervisi. Banyak sekali kekurangan KPK yang dibahas di Komisi III. Reformasi birokrasi sudah dimulai tapi masih tertatih-tatih," kata Wayan di acara yang sama.

 

Juru Bicara KPK Ali Fikri yang juga hadir, mengatakan, apa yang dilakukan KPK dalam kasus Helikopter AW-101 adalah perkara teknis semata.

Margarito melanjutkan, KPK tetap berada di luar jalur dan mengenyampingkan prinsip proses hukum yang baik. "Terkait nama baik yang tercemar karena proses hukum, suka atau tidak suka, penegakan hukum harus ditakar dengan prinsip-prinsip yang beres dulu. Jadi tidak boleh serampangan," kata Margarito.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement