Selasa 14 Feb 2023 08:59 WIB

Presiden Iran Berkunjung ke Cina untuk Pertama Kalinya

Presiden Iran didampingi tim delegasi cukup besar, termasuk gubernur bank sentral.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
 Presiden Iran Ebrahim Rais akan memimpin bersama beberapa delegasi dari negaranya, akan berangkat dari Teheran pada Senin (13/2/2023) malam menuju Cina atas undangan Presiden Xi Jinping.
Foto: AP/Vahid Salemi
Presiden Iran Ebrahim Rais akan memimpin bersama beberapa delegasi dari negaranya, akan berangkat dari Teheran pada Senin (13/2/2023) malam menuju Cina atas undangan Presiden Xi Jinping.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Presiden Iran Ebrahim Raisi akan memimpin bersama beberapa delegasi dari negaranya, akan berangkat dari Teheran pada Senin (13/2/2023) malam menuju Cina atas undangan Presiden Xi Jinping. Kepergian Presiden Iran Raisi ini membawa delegasi penting dalam jumlah besar, diantaranya pejabat senior Iran, termasuk kepala bank sentral Iran dan negosiator nuklir terkemuka.

Dilansir Aljazeerah, Senin (13/2/2023), kunjungan perjalanan selama tiga hari itu adalah kunjungan kenegaraan pertama Raisi ke raksasa ekonomi Asia itu dan yang pertama oleh seorang presiden Iran dalam 20 tahun. Sebagai kepala negara, keduanya Raisi dan Xi untuk pertama kali telah bertemu di sela-sela KTT Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO) di Uzbekistan pada bulan September 2022. Cina telah mendukung upaya Iran yang sekarang berhasil untuk menjadi anggota penuh organisasi tersebut.

Baca Juga

Presiden Iran, yang mulai menjabat pada Agustus 2021, didampingi oleh tim delegasi yang cukup besar, termasuk gubernur bank sentral Iran yang baru. Ini menunjukkan prioritas kerjasama dan hubungan Iran dengan Cina selama perjalanan tersebut.

Tak hanya itu, enam anggota kabinet Raisi, termasuk menteri ekonomi, perminyakan, luar negeri, perdagangan, transportasi dan pembangunan kota, serta pertanian juga menjadi bagian dari delegasi tersebut.

Sebuah artikel opini telah ditulis atas oleh Raisi diterbitkan pada hari Senin di sebuah media cetak terkemuka Cina, di mana dia menyambut baik perluasan hubungan bilateral ini. Raisi akan melakukan pertemuan dengan Xi, dilanjutkan dengan negosiasi antar delegasi yang diharapkan dapat berujung pada penandatanganan beberapa kesepakatan di hadapan kedua presiden.

Wakil Raisi untuk urusan politik, Mohammad Jamshidi mengatakan kepada televisi pemerintah pada hari Ahad (12/2/2023), bahwa tujuan utama perjalanan tersebut adalah untuk menyelesaikan mekanisme operasional dari perjanjian kerja sama yang komprehensif 25 tahun yang telah ditandatangani kedua negara pada tahun 2021.

Pada awal 2022, Menteri Luar Negeri Hossein Amirabdollahian mengatakan perjanjian tersebut telah memasuki tahap implementasi, tetapi tidak ada kontrak atau proyek besar yang diumumkan berdasarkan perjanjian tersebut selama Iran masih berada di bawah sanksi berat Amerika Serikat.

Di Iran, Cina hanya menginvestasikan 162 juta dolar AS atau senilai Rp 2,4 triliun dalam porsi ekonomi Iran selama tahun pertama kepresidenan Raisi. Besaran itu bahkan kurang dari porsi investasi Cina untuk Afghanistan dan Turki, menurut seorang pejabat investasi Iran.

Namun bagaimanapun, Cina, tetap menjadi mitra dagang terbesar Iran, dengan data bea cukai Iran untuk 10 bulan pertama tahun kalender Iran saat ini yang berakhir pada Maret, menunjukkan Iran telah mengekspor barang senilai 12,6 miliar dolar AS ke Cina dan mengimpor barang dari Cina senilai 12,7 miliar dolar AS.

Cina juga terus membeli minyak dari Iran meskipun sanksi dari AS terus mengancam Cina, tetapi jumlah volume persisnya tetap dirahasiakan. Sejumlah perusahaan yang melacak data mengatakan ekspor minyak Iran ke Cina mencapai level tertinggi baru dalam dua bulan terakhir tahun 2022 dan memiliki awal yang kuat hingga tahun 2023.

Bersamaan dengan Rusia, Cina juga mengisyaratkan mendukung upaya Iran untuk bergabung dengan kelompok BRICS yang kuat dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.

Kesepakatan nuklir, dengan negara Teluk (GCC), Cina ikut penandatangan kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 dengan kekuatan dunia yang juga mencakup Rusia, AS, Inggris, Prancis, dan Jerman, yang akhirnya ditinggalkan secara sepihak oleh Washington pada tahun 2018.

Dalam kunjungan ini, Presiden Iran juga didampingi oleh Ali Bagheri Kani, negosiator nuklir negara handal negara itu. Dimana ia telah mengadakan pembicaraan dengan Barat yang bertujuan memulihkan kesepakatan nuklir negara itu. Sayangnya, pembicaraan, yang dimulai pada awal 2021, bagaimanapun, tetap menemui jalan buntu.

Ini bisa menjadi sinyal bahwa pembicaraan tentang Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), sebagaimana kesepakatan itu dikenal secara resmi, juga bisa menjadi bagian penting dari kunjungan tersebut. AS secara terbuka menyatakan bahwa pembicaraan nuklir saat ini bukan prioritas di tengah dugaan pasokan drone Teheran ke Rusia untuk perang di Ukraina terus berjalan, dan apalagi setelah protes berbulan-bulan di seluruh Iran.

Tetapi Teheran tetap menuduh Washington munafik karena mengklaim pesan-pesan secara teratur masih dipertukarkan antara keduanya, melalui perantara dalam upaya memulihkan JCPOA.

Sementara itu, kunjungan Raisi juga dilakukan tak lama setelah Teheran memanggil duta besar China untuk Teheran pada bulan Desember untuk menyampaikan 'ketidakpuasan yang kuat' setelah Xi mengeluarkan pernyataan bersama yang kontroversial dengan para pemimpin negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC).

Ppresiden Xi, yang kini juga mengejar hubungan lebih dekat dengan negara-negara lain di kawasan itu, termasuk beberapa saingan negara Arab seperti Iran, telah menandatangani pernyataan yang menyerukan untuk mempertanyakan kepemilikan Iran atas tiga pulau di Selat Hormuz. Selain Cina juga mengangkat poin tentang kehadiran regional Iran dan program nuklirnya. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement