REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) merespons hukuman mati terhadap eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, Ferdy Sambo terkait pembunuhan Brigadir J. Vonis Sambo dibacakan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin (14/2/2023).
PBHI menduga, ada muatan politisi di balik vonis tersebut. PBHI meyakini waktu eksekusi mati Ferdy Sambo bakal turut menuai politisasi nantinya. Pasalnya, terpidana mati yang sudah berkekuatan hukum tetap biasanya tak langsung menghadapi regu tembak.
"Yang jadi masalah, hukuman mati ini politis, eksekusi juga politis," kata Ketua PBHI Julius Ibrani kepada Republika.co.id di Jakarta, Selasa (14/2/2023).
Julius menduga vonis mati terhadap Sambo untuk mencegah terungkapnya kejahatan yang lebih besar. Sehingga, hukuman tersebut justru dimanfaatkan untuk kepentingan lain. "Kebanyakan justru untuk menutupi penjahat besar dan kejahatan besar di baliknya," ujar Julius.
Baca juga : Meski Divonis Mati, Sambo Tetap Bisa Diperkarakan dalam Kasus Konsorsium 303 dan KM50
Selain itu, Julius enggan merespons perihal dampak penerapan KUHP yang sudah disahkan dan baru berlaku pada 2026 dengan vonis Sambo. Dia meminta semua pihak menunggu inkrahnya vonis terhadap Sambo.
"Masih prematur untuk dikaitkan dengan KUHP baru ya, karena vonis masih dalam masa 'sementara', sebelum jangka waktu permohonan banding ditutup," ucap Julius.
Apalagi, dia melanjutkan, masih bisa menempuh upaya banding dan kasasi. Dengan demikian, vonis mati itu masih belum dapat dieksekusi dalam waktu dekat. "Segala kemungkinan bisa terjadi jika belum ada sikap pasti karena status 'sementara' tadi," kata Julius.
Baca juga : IPW Menilai Ferdy Sambo tak Layak Dihukum Mati, Ini Analisisnya