REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS – Sekretaris Jenderal Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg menyerukan negara-negara Barat untuk meningkatkan pasokan amunisi dan logistik perang ke Ukraina. Dia menuduh Presiden Rusia Vladimir Putin sedang mempersiapkan serangan-serangan baru.
“Kami tidak melihat tanda-tanda bahwa Presiden Putin sedang mempersiapkan perdamaian. Apa yang kami lihat sebaliknya, dia sedang mempersiapkan lebih banyak perang, untuk aksi ofensif dan serangan baru,” ujar Stoltenberg kepada awak media menjelang pertemuan para menteri pertahanan negara anggota NATO di Brussels, Belgia, Selasa (14/2/2023).
Menurutnya, saat ini konflik di Ukraina sudah menjadi perang yang menguras tenaga. “Oleh karena itu, ini juga merupakan pertempuran logistik,” kata Stoltenberg.
Dia mengungkapkan, selain pasokan senjata baru, ada kebutuhan agar persenjataan yang sudah ada di Ukraina bisa tetap berfungsi. “Dalam hal artileri, kita membutuhkan amunisi, kita membutuhkan suku cadang, kita membutuhkan pemeliharaan, kita membutuhkan semua logistik untuk memastikan bahwa kita dapat mempertahankan sistem senjata ini,” ucapnya.
NATO berencana meningkatkan target untuk menimbun amunisi. Hal itu karena Ukraina menghabiskan peluru jauh lebih cepat daripada yang dapat diproduksi negara-negara Barat. Akibatnya stok sangat terkuras.
Jerman mengumumkan telah menandatangani kontrak dengan pembuat senjata Rheinmetall guna memulai kembali produksi amunisi untuk senjata anti-pesawat Gepard yang telah dikirim ke Ukraina. “Saya sangat senang kami dapat menjamin pengiriman elemen penting pertahanan udara ini,” kata Menteri Pertahanan Jerman Boris Pistorius saat tiba di Brussels.
Selama beberapa bulan terakhir, Jerman telah mencoba menemukan amunisi baru untuk senjata anti-pesawat Gepard yang telah dinonaktifkan oleh militernya sendiri pada 2010. Dalam pertemuan di Brussels, para menteri pertahanan NATO akan memulai diskusi tentang penyesuaian target aliansi bagi anggota untuk membelanjakan 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk pertahanan.
Beberapa sekutu melihat angka itu terlalu rendah, mengingat perang di Ukraina, serta mendorong pengeluaran militer yang lebih tinggi. Sementara yang lain seperti Jerman masih jauh di bawah target 2 persen. Sebuah keputusan diharapkan pada KTT NATO di Lituania pada Juli mendatang