REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian mencatat, Indonesia sedikitnya telah membangun 91 unit smelter. Dari jumlah tersebut, baru 48 unit yang sudah beroperasi penuh sedangkan sisanya masih dalam tahap kajian kelayakan hingga proses konstruksi.
"Lokasi smelter terbanyak di Sulawesi Tenggara 25 smelter, lalu Maluku 22 smelter, Sulawesi Utara 12 smelter, Kalimantan Barat 10 smelter, dan lainnya 34 smelter di berbagai provinsi seluruh Indonesia," kata Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR, Selasa (14/2/2023).
Sejauh ini, 48 fasilitas smelter yang sudah beroperasi terbagi ke empat jenis barang tambang. Yakni smelter nikel, besi baja, tembaga, serta aluminium.
Khusus smelter nikel yang saat ini sudah beroperasi memiliki kapasitas produksi sebesar 262 ribu ton per tahun dengan nilai investasi Rp 5,5 triliun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 2.337 orang. Sementara untuk smelter besi baja sudah memiliki kapasitas produksi hingga 1,6 juta ton per tahun. Investasi yang ditanamkan sudah mencapai Rp 15,9 triliun dengan serapan tenaga kerja 2.729 orang.
Selanjutnya smelter tembaga yang ada total memiliki kapasitas 150 ribu ton per tahun. Investasinya sebesar Rp 266 miliar dan menyerap tenaga kerja 525 orang.
"Selanjutnya ada smelter tembaga yang sudah berkapasitas 544 ribu ton per tahun dengan nilai investasi Rp 15,6 triliun dan menyerap tenaga kerja 1.800 orang," kata dia.
Agus mengatakan, dalam hal hilirisasi industri melalui fasilitas smelter, pemerintah memang hanya fokus pada lima komoditas. Di antaranya yakni industri hilirisasi berbasis bijih tembaga, lalu biji besi dan pasir besi, bijih nikel untuk stainless steel dan baterai, bauksit (aluminium), serta monosit dan sumber potensi lain sepert logam tanah jarang.
Melalui upaya hilirisasi, industri dalam negeri bakal mendapatkan nilai tambah baik dari pasar dalam negeri maupun untuk pasar ekspor.