REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana, Prof Mudzakkir, mengingatkan konsekuensi lolosnya terdakwa Ferdy Sambo dari eksekusi mati akibat implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru. Mudzakkir menilai, hal ini akan antiklimaks dari harapan-harapan publik dalam penuntasan kasus ini.
"Jangan sampai nanti menjadi antiklimaks ketika sekarang sudah mendapat support masyarakat begitu luas dan independen hakim dipuji lalu tiba-tiba berubah, jadi pidana mati tidak dieksekusi karena perubahan hukum pidana baru," ujar Mudzakkir melalui pesan singkatnya, Selasa (14/2/2023).
Mudzakkir menilai, hal ini akan berpengaruh pada kepercayaan publik kepada penegakan hukum di Indonesia, khususnya pengadilan.
"Ya nanti saya katakan akan antiklimaks berbalik arah, orang jadi tidak akan percaya pada pengadilan itu, dan hukum pidana yang baru. Itu catatan penting yang harus diperhatikan," ujarnya.
Karena itu, dia mengingatkan pengadilan untuk berhati-hati dalam mengambil kebijakan atas kasus Sambo ini. Karena, berbeda kasus dengan vonis mati lainnya, kasus Sambo ini mendapat perhatian besar dari masyarakat.
Apalagi, penjatuhan pidana mati itu dilihat dari perspektif publik tampak telah memuaskan publik. Terlebih, apa yang dilakukan Sambo dengan alasan-alasan selama ini.
"Sekarang itu orang sudah menyimpulkan perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu sebaiknya harus hati-hati di dalam mengambil kebijakan itu," ujarnya.
Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani menjelaskan bahwa vonis terhadap Sambo belum inkrah. Mantan kadiv Propam Polri itu masih dapat mengajukan banding hingga grasi ke Presiden untuk mendapatkan persetujuan dari Mahkamah Agung (MA).
"Nah proses itu bisa kemudian melewati masa tiga tahun. Nah setelah melewati masa tiga tahun akan berlaku KUHP yang baru," ujar Arsul di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/2/2023).
"Jadi dalam konteks pidana matinya Pak Ferdy Sambo tetap terbuka kemungkinan bahwa nanti perubahan menjadi pidana seumur hidup, karena sistem yang kita atur, yang kita tetapkan dalam KUHP kita," katanya.
Peristiwanya memang pembunuhan berencana yg kejam. Pembuktian oleh jaksa penuntut umum memang nyaris sempurna. Para pembelanya lbh bnyk mendramatisasi fakta. Hakimnya bagus, independen, dan tanpa beban. Makanya vonisnya sesuai dgn rasa keadilan publik. Sambo dijatuhi hukuman hati.
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) February 13, 2023
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bersalah terdakwa Ferdy Sambo karena melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J), Senin (13/2/2023). Sambo juga divonis bersalah atas perbuatannya melakukan perintangan penyidikan terkait kematian Brigadir J di Duren Tiga 46. Atas vonis tersebut, majelis hakim menghukum Sambo dengan pidana mati.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada 6 Desember 2022, hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP.
Pasal 100 Ayat 1 KUHP mengatur, hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan memperhatikan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri atau peran terdakwa dalam tindak pidana. Namun, dalam Pasal 100 Ayat 2 dijelaskan, pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.
Baca juga : Sambo Divonis Mati, Kejakgung: Fakta Hukum Telah Diakomodasi Hakim
Adapun majelis hakim PN Jakarta Selatan memutuskan vonis hukuman mati kepada Ferdy Sambo. Tanpa adanya embel-embel masa percobaan selama 10 tahun.
Berdasarkan Pasal 100 Ayat 4 KUHP, jika majelis hakim memberikan masa percobaan selama 10 tahun terhadap vonis hukuman mati Ferdy Sambo, ketika ia menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji selama masa percobaan tersebut, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden (Keppres) setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA).
"Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada Ayat 4 dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan," bunyi Pasal 100 Ayat 5 KUHP.
"Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung," bunyi Pasal 100 Ayat 6 KUHP.