REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Legislasi (Baleg) DPR menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Salah satu alasan persetujuan karena Perppu tersebut telah memenuhi parameter kegentingan memaksa yang disetujui tujuh dari sembilan fraksi yang ada di Baleg.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VIII/2009, penerbitan perppu harus berlandaskan kegentingan memaksa. Ada tiga parameter kegentingan untuk menerbitkan perppu, yakni kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah secara cepat dan adanya kekosongan hukum. Parameter terakhir, kondisi hukum tidak dapat diatasi dengan membuat undang-undang secara prosedur biasa.
"Apresiasi langkah cepat pemerintah mengisi kekosongan hukum di tengah kondisi global yang carut marut, sehingga sektor investasi dan produksi dalam negeri bisa segera diatasi. Eksekusi dan implementasi dalam Perppu ini harus dikelola dan dijalankan dengan baik secara inklusif dan berkelanjutan," ujar anggota Baleg Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Andreas Eddy Susetyo dalam rapat pengambilan keputusan Perppu Cipta Kerja, Rabu (15/2/2023).
Anggota Baleg Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan menilai, pembentukan Perppu sudah dilakukan dengan mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Terutama telah memenuhi adanya dasar hukum penggunaan metode omnibus law.
"Kami menyatakan setuju RUU tentang penetapan Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Ciptaker menjadi undang-undang. Serta dilanjutkan pada proses selanjutnya sesuai mekanisme yang berlaku," ujar Heri.
Sebelum keputusan tersebut, tim ahli Undang-Undang Cipta Kerja Kementerian Koordinator Perekonomian Ahmad Redi menjelaskan, ada tiga cara yang dapat dilakukan pemerintah dalam menanggapi putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pertama adalah lewat revisi undang-undang tersebut.
Kedua adalah lewat pencabutan UU Cipta Kerja lewat pembentukan undang-undang lain. Terakhir adalah penerbitan Perppu, yang kini menjadi pilihan dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Dalam analisis saya, maka Perppu Cipta Kerja ini merupakan pilihan kebijakan reformasi yang paling ideal, sehingga kemudian bisa diterapkan. Sepanjang bisa dibuktikan ada kegentingan memaksa," ujar Ahmad dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) tentang Perppu Cipta Kerja dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (14/2/2023) malam.
Ia sendiri telah melakukan simulasi terhadap tiga pilihan tersebut lewat empat indikator, yakni kesesuaian dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XII/2021, kemudahan teknis penyusunan, kecepatan proses pembentukan, dan kemudahan masyarakat dalam membaca rumusannya.
Jika pemerintah memilih revisi UU Cipta Kerja, hal tersebut sesuai dengan putusan MK pada 2021. Namun, teknis penyusunannya tidak mudah, kecepatan proses pembentukannya tak cepat, dan masyarakat akan sulit membaca rumusannya.
Sementara itu, jika pemerintah memilih pembentukan undang-undang baru untuk mencabut UU Cipta Kerja, hal tersebut sesuai dengan putusan MK, mudah dalam teknis penyusunannya, dan rumusannya dapat dipahami masyarakat. Namun, proses pembentukannya akan memakan waktu lama.
"Ekonomi Indonesia di 2023 ini tidak baik-baik saja, ada stagflasi ekonomi, ancaman krisis global, krisis pangan, kemudian krisis energi, dan ancaman krisis moneter. Sehingga kemudian ada potensi kegentingan memaksa yang harus dimitigasi melalui sebuah produk hukum," ujar Ahmad.