REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eddy Hermawan, mengatakan, isu tenggelamnya Jakarta sudah mengemuka sejak lama. Menurut Eddy, ada dua penyebab utama yang dapat membuat hal itu terjadi, yakni meningkatnya muka air laut atau sea level rise (SLR) dan menurunnya muka tanah atau land subsidance (LS) akibat penggunaan air tanah yang berlebihan.
"Tenggelam itu jangan dibayangkan nanti air lautnya itu sampai setinggi Monas gitu ya. Maknanya tenggelam, terutama di Pantura, itu mengalami proses airnya datang merendam, genangan, semacam rob. Di mana semakin ke sini semakin besar," ujar Eddy kepada Republika, Rabu (15/2/2023).
Dia menjelaskan, penyebab utama terjadinya hal tersebut ada dua. Penyebab yang pertama adalah meningkatnya air muka laut hasil dari mencairnya es dikutub yang diakibatkan oleh bumi yang semakin panas. Penyebab pertama itu dia nilai memprihatinkan, tapi tidak sememprihatinkan penyebab berikutnya. Sebab, menurut Eddy, upaya meredam emisi CO2 yang membuat bumi semakin panas saat ini sudah dilakukan, tapi genangan air tetap saja bertambah.
"Kalau basisnya hanya air laut saja sebenarnya itu tidak terlalu memprihatinkan. Wajar, Jakarta kawasan teluk, yang memang pantainya landai, dan juga tanahnya itu tanah aluvial, empuk. Sehingga kawasan ini mudah diserang dari segi SLR," jelas dia.
Dampak lebih besar diakibatkan oleh penyebab kedua, yakni pemakaian air tanah yang tak terkendali, yang menyebabkan penurunan muka tanah atau land subsidence. Menurut dia, penyebab 'lokal' itu mempercepat proses genangan terjadi di pesisir Jakarta. Untuk itu, kata Eddy, pengendalian penggunaan air tanah perlu dilakukan ke depan.
"Jadi, sudah globalnya seperti itu, lokalnya lebih parah. Karena land subsidence ini lebih besar ketimbang SLR. Gabungan antara SLR dan land subsidence inilah yang menyebabkan Jakarta lebih cepat tergenangnya. Selama pemaiakan air tanah itu tidak dikendalikan, ya seperti itu," jelas dia.
Eddy kemudian menerangkan, solusi pembangunan tembok besar bukan merupakan solusi jangka panjang untuk menyikapi persoalan tersebut. Dia mengatakan, penghadangan air rob dengan tembok besar hanya menunda persoalan saja. Sebab, tembok besar tersebut sangat berat dan dibangun di atas tanah dengan jenis aluvial yang empuk.
"Lama-kelamaan karena tanahnya aluvial itu tingginya air laut akan sama dengan tingginya giant wall. Per tahun giant wall itu akan semakin ambles. Mestinya diantisipasi dengan yang alami. Misal pemakaian tanaman bakau. Atau peting besik bisa. Pokoknya bagaimana kita memecah gelombang," kata Eddy.
Sementara itu, Profesor Riset bidang Geoteknologi-Hidrologi Air Tanah BRIN, Robert Delinom, mengungkapkan, ada empat faktor penyebab amblesan tanah di Jakarta, yaitu kompaksi batuan, pengambilan air tanah secara berlebihan, pembeban bangunan, dan aktivitas tektonik. Dia kemudian mengungkapkan solusi jangka pendek dan jangka panjang yang dapat dilakukan untuk mencegah tenggelamnya Jakarta.
"Periode jangka pendek dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar memahami masalah ini. Sedangkan jangka panjang dengan melakukan integrasi secara tuntas terkait penyelesaian masalah," jelas Delinom.
Delinom menjelaskan, integrasi penyelesaian masalah itu meliputi kombinasi konsep mitigasi dan adaptasi yang tidak tumpang tindih, zero run off dan no land subsidence city, serta mengubah pola pikir masyarakat. Selain itu, dia juga menyarankan perlunya upaya mitigasi dengan melakukan pembangunan 'pertahanan' di garis pantai, pembangunan ‘pertahanan’ di sungai dan bantarannya, membuat ‘tempat parkir’ air dan mengantisipasi penyebab penurunan tanah.