Kamis 16 Feb 2023 00:55 WIB

Chief Economist BSI: Industri Tekstil Miliki Risiko Tinggi di Perbankan Syariah

Setiap bank memiliki spesialisi dalam pembiayaan.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Lida Puspaningtyas
SVP Wealth Management PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) Asri Natanegeri, Chief Economist BSI Banjaran Surya Indrastomo, EVP Corporate Finance & Solution BSI Indra Kampono (dari kiri) memaparkan acara BSI Global Islamic Finance Summit 2023 di Jakarta, Senin (13/2/2023). BSI Global Islamic Finance Summit 2023 yang akan digelar di 15-16 Februari nanti merupakan ajang diskusi dan networking bertaraf international yang diikuti oleh para stakeholders keuangan syariah.
Foto: Republika/Edwin Putranto
SVP Wealth Management PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) Asri Natanegeri, Chief Economist BSI Banjaran Surya Indrastomo, EVP Corporate Finance & Solution BSI Indra Kampono (dari kiri) memaparkan acara BSI Global Islamic Finance Summit 2023 di Jakarta, Senin (13/2/2023). BSI Global Islamic Finance Summit 2023 yang akan digelar di 15-16 Februari nanti merupakan ajang diskusi dan networking bertaraf international yang diikuti oleh para stakeholders keuangan syariah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Chief Economist PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya mengungkapkan industri tekstil merupakan salah satu sektor yang memiliki risiko tinggi dalam pembiayaan di perbankan syariah. Pasalnya, hingga kini sektor tekstil sedang menurun drastis dan masih mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk restrukturisasi kredit.

"(Berisiko tinggi) Karena output ekspor tekstil ke AS dan eropa tahun ini drop jauh," kata Banjaran kepada Republika.co.id saat ditemui dalam acara BSI Global Islamic Finance Summit 2023 (GIFS) yang digelar oleh BSI pada Rabu (15/2/2023).

Baca Juga

Amblesnya permintaan global tersebut imbas perlambatan ekonomi dunia, salah satu penyebabnya adalah perang Rusia dan Ukraina. Efeknya industri tekstil yang berorientasi ekspor merana hingga harus merumahkan karyawannya. Pemerintah pun saat ini membuka kemungkinan untuk memberlakukan larangan terbatas (lartas) terhadap beberapa bahan baku dan produk tekstil menyusul kondisi industri yang sedang memburuk usai mengalami PHK massal.

Oleh karena itu, lanjut Banjaran, bank juga harus mengerti kekuatan serta kapasitas yang dimiliki peminjam saat akan memberikan pembiayaan. Hal tersebut masih menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi sektor perbankan, termasuk perbankan syariah.

"Saya rasa balik lagi ke penguasaan (setiap bank), jadi bank bisa berikan pembiayaan tapi bank harus mengerti kekuatan yang mereka punya jadi bisa mempersiapkan kapasitasnya. Itu jadi PR masing-masing bank. Perlu diingat, setiap bank itu juga punya spesialisi dalam pembiayaan, misalnya contoh ada bank produk unggulan di kelapa sawit karena memiliki ahli kelapa sawit," kata dia.

Saat ini, pembiayaan konsumer BSI berada pada urutan pertama diatas rata-rata bank syariah dan untuk penyaluran pembiayaan sindikasi berada pada urutan keempat terbesar di Indonesia yang didominasi pada sektor-sektor rill wholesale, manufaktur, pertanian, kehutanan dan properti. Per Desember 2022, pembiayaan wholesale BSI mencapai Rp 57,18 triliun tumbuh 15,80 persen year on year (yoy). BSI juga terus mendorong pembiayaan sindikasi, yang mencapai Rp 45 triliun atau tumbuh 13,44 persen year on year (yoy).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement