REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Sri Lanka sedang mencoba untuk menyelesaikan negosiasi utangnya pada akhir Maret ini, kata juru bicara pemerintah Sri Lanka, Bandula Gunawardena, kepada wartawan pada, Selasa (15/2/2023). Gunawardena mengatakan IMF telah menyimpulkan bahwa tawaran bantuan Cina saja tidak cukup.
Cina telah menyatakan dukungan untuk Sri Lanka menjelang pertemuan hari Jumat 17 Februari 2023 mendatang, dengan para pemberi pinjaman ke pemerintah Colombo. Namun Cina belum menyebut soal bantuan pemangkasan hutang Cina yang jumlahnya miliaran dolar AS, dan telah menjadi jebakan ekonomi bagi Sri Lanka.
Beijing adalah salah satu kreditur terbesar Sri Lanka setelah pemerintahan Sri Lanka yang digulingkan sebelumnya meminjam miliaran dolar di bawah program Belt and Road Initiative yang dikomandoi Presiden Cina Xi Jinping. Cina dibawah pemerintahan Xi memang bertekad memperluas pengaruh perdagangan negeri tirai bambu dengan membangun pelabuhan dan fasilitas lainnya di seluruh Asia dan Afrika.
Cina juga telah menawarkan penangguhan pembayaran selama dua tahun kepada Sri Lanka, tetapi Beijing tetap menolak untuk memotong jumlah pinjaman yang harus dibayarkan. Sementara hutang Cina tersebut, telah membuat Colombo terkendala untuk mendapatkan bantuan pinjaman darurat dari Dana Moneter Internasional (IMF), yang ingin kreditur lain menyetujui pengurangan utang.
Pejabat ekonomi Cina akan menghadiri pertemuan soal pembahasan hutang yang diselenggarakan oleh IMF dan Paris Club kreditur pemerintah Sri Lanka tersebut. Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, mengatakan bulan lalu lembaga itu berbicara dengan Beijing tentang cara-cara mengurangi beban utang.
Klub Paris, setelah mengumumkan jaminan minggu lalu untuk bekerja dengan Sri Lanka, mengatakan, “Anggota Klub Paris serta Hungaria dan Arab Saudi mendesak kreditor bilateral resmi lainnya, termasuk Cina, untuk melakukan hal yang sama mengurangi beban hutang, sejalan dengan parameter program IMF sesegera mungkin."
Cina menyumbang sekitar 10 persen dari utang luar negeri Sri Lanka senilai 51 miliar dolar AS atau senilai Rp 776 triliun. Negara kepulauan berpenduduk 22 juta jiwa itu mengakui telah kehabisan mata uang asing tahun lalu. Hal itu memicu pemadaman listrik di berbagai wilayah Sri Lanka, kekurangan pasokan pangan, dan protes yang memaksa presiden Rajapaksa mengundurkan diri.
"Cina telah bersedia bekerja dengan negara-negara terkait dan lembaga keuangan internasional untuk terus memainkan peran positif guna membantu Sri Lanka mengatasi kesulitan saat ini,” kata juru bicara kementerian luar negeri Cina, Wang Wenbin, ketika ditanya apakah Beijing akan menyetujui pengurangan utang.
Wang mengulangi pernyataan resmi sebelumnya bahwa Beijing mendukung pendekatan Sri Lanka untuk pinjaman IMF dan akan membantu pemerintah meminta bantuan dari komersial dan kreditor lainnya. Bank Ekspor-Impor Cina bulan lalu menawarkan kepada Sri Lanka penangguhan pembayaran dua tahun.
Namun seorang pejabat Amerika mengatakan itu terlalu sedikit dan meminta Beijing untuk menawarkan lebih banyak bantuan. “Kami sedang berdiskusi langsung dengan Cina,” kata Presiden Rani Wickremesinghe minggu lalu dalam pidatonya di parlemen. “Kami sekarang bekerja untuk menyatukan pendekatan negara lain dan Chna.”
Situasi Sri Lanka mencerminkan kondisi di puluhan negara dari kepulauan Pasifik Selatan hingga beberapa negara termiskin di Asia dan Afrika yang meminjam di bawah program Belt and Road Initiative. Total utang negara-negara miskin meningkat, dan itu meningkatkan risiko bahwa negara lain mungkin mengalami kesulitan dan gagal bayar.
Beijing telah memaafkan bunga yang harus dibayar oleh beberapa pihak tetapi telah menghindari menuliskan jumlah yang dipinjam. Ekonom mengatakan Beijing mungkin menolak pemotongan utang Sri Lanka karena takut peminjam lain menginginkan keringanan serupa.
April lalu, pemimpin oposisi Wickremesinghe mengatakan kepada penyiar Republic TV bahwa China menawarkan pinjaman 1 miliar dolar AS, alih-alih mengurangi utang Sri Lanka. Itu akan memungkinkan pemerintah melakukan pembayaran, tetapi total hutang akan naik.
Georgieva mengatakan para pejabat IMF yang mengunjungi Beijing berdiskusi dengan para pejabat China tentang jalan pengurangan utang untuk beberapa negara lain, seperti Chad, Zambia, Sri Lanka, dan debitur lain yang kesulitan membayar.
"Gagasan yang dibagikan secara luas di Cina adalah bahwa negara tersebut ingin membantu, tetapi Beijing masih berharap negara yang berhutang tersebut akan tetap bisa membayar kembali,” kata Georgieva.
"Itu membuat pemotongan, atau pengurangan jumlah pinjaman, secara politis sangat sulit,” ujarnya menambahkan.
Namun dia mengatakan mungkin ada cara untuk mencapai tujuan yang sama dengan mengubah suku bunga atau ketentuan pembayaran.