REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Panglima Militer Filipina pada Rabu (15/2/2023), mengatakan Filipina dan Amerika Serikat (AS) tahun ini akan melakukan latihan militer gabungan terbesar kedua negara sejak 2015. Latihan militer Filipina-AS ini dilatarbelakangi meningkatnya ketegangan dengan Cina di Laut Cina Selatan (LCS).
Latihan militer tersebut menggarisbawahi peningkatan hubungan dengan Amerika Serikat di bawah Presiden Ferdinand Marcos Jr. Kesepakatan latihan militer ini terjadi ketika Filipina mengutuk tindakan agresif Cina di jalur laut yang disengketakan.
Ketegangan Filipina dengan Cina ini juga termasuk penggunaan laser militer Cina ke salah satu kapal Manila sebulan sebelumnya. Latihan militer tahunan yang dikenal dengan 'Balikatan' ini, akan diselengarakan pada kuartal kedua.
"Ini akan melibatkan lebih dari 8.900 tentara tahun sebelumnya," kata Panglima Angkatan Darat Romeo Brawner kepada wartawan, dilansir dari Reuters.
"Semua latihan yang kami lakukan adalah untuk menanggapi semua jenis ancaman yang mungkin kita hadapi di masa depan, baik buatan manusia maupun alam," kata Brawner.
Presiden Marcos pada hari Selasa (14/2/2023), memanggil duta besar Cina, menyatakan keprihatinan serius atas intensitas dan frekuensi aktivitas armada Cina di Laut Cina Selatan. Pemanggilan juga terkait ketegangan karena sebagian besar wilayah laut Filipina diklaim oleh Cina sebagai wilayahnya.
Penggunaan laser oleh armada kapal Cina terhadap kapal Filipina pada 6 Februari lalu, yang menurut kementerian luar negeri Cina adalah aktivitas legal. Hal inilah yang telah memicu sikap keprihatinan dan dukungan ke Filipina dari Australia, Jepang, dan Amerika Serikat.
"Washington berencana akan melipatgandakan upayanya dengan sekutu Filipina kami, untuk meningkatkan kemampuan pertahanan militer dan penjaga pantai Filipina. Saat ini kami bekerja bahu-membahu untuk menegakkan tatanan internasional berbasis aturan," kata juru bicara Pentagon Brigadir Jenderal Patrick Ryder di Twitter.
Filipina telah memberi Washington akses yang lebih besar ke pangkalan militernya. Hal ini sebagai bagian dari upaya yang terakhir untuk mencegah peningkatan ketegasan Cina di Laut China Selatan, termasuk juga ketegangan atas Taiwan yang memiliki pemerintahan sendiri.
Pada 2015, lebih dari 11 ribu tentara dari kedua negara berpartisipasi dalam latihan militer gabungan tersebut. “Latihan kali ini akan melibatkan banyak sekali kegiatan, tidak hanya berfokus pada pengembangan kemampuan perang kedua angkatan bersenjata, tetapi juga peran non-tradisional lainnya seperti bantuan kemanusiaan dan tanggap bencana,” kata Brawner.