Jumat 17 Feb 2023 09:46 WIB

Proporsional Tertutup

Proporsional tertutup secara ideal memberikan tempat bagi kader terbaik partai

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.
Foto: Dok. Humas DPD RI
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti,  Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

 

Baca Juga

Dua hari yang lalu, saya mendapat pesan WA (WhatsApp) dari wartawan salah satu media nasional di Jakarta. Dia bertanya. Apakah saya setuju Pemilu Legislatif dengan sistem proporsional tertutup?

Pertanyaan singkat. To the point. Seolah saya hanya punya jawaban; setuju dan tidak setuju. Setuju karena apa. Dan, tidak setuju karena apa.

Tentu saya tidak akan jawab dengan singkat seperti itu. Saya harus menjelaskan dengan utuh. Karena soal ini menjadi diskursus publik yang kuat. Apalagi banyak kalangan muda, aktivis dan pegiat medsos yang membicarakan soal ini.

Memang sekilas lebih banyak yang kontra sistem proporsional tertutup. Ada yang menyebut kemunduran demokrasi. Bahkan ada yang bilang antidemokrasi.

Bagi saya, terbuka atau tertutup adalah pilihan saja. Dan setiap pilihan tersebut sama-sama bisa ideal. Juga sama-sama bisa tidak ideal. Karena yang harus kita uji adalah variable ikutannya.

Proporsional terbuka secara ideal harus diikuti dengan variable independensi anggota dewan terpilih. Baik itu anggota DPR maupun DPRD.

Anggota DPR yang terpilih melalui sistem proporsional terbuka harus bebas dari ancaman re-call atau PAW, apabila tidak sejalan dengan ‘kebijakan’ partai politik. Anggota DPR yang terpilih melalui sistem proporsional terbuka harus bebas dari ‘satu suara’ fraksi dalam menyikapi kebijakan pemerintah. Anggota DPR yang terpilih melalui sistem proporsional terbuka harus bebas dari ‘arahan’ Ketua Umum atas pilihan sikapnya.

Mengapa batu uji variable tersebut penting? Karena sistem proporsional terbuka itu memberi ruang kepada calon legislatif di masing-masing daerah pemilihan untuk mengikat janji atau membangun komitmen dengan para pemilihnya.

Komitmen untuk memperjuangkan apa yang menjadi aspirasi pemilihnya. Bahkan dalam beberapa kasus, seorang caleg menandatangani pakta janji dengan pemilihnya.

Lalu apakah ini bisa terjadi? Bila faktanya di dalam Undang-Undang MD3 dan Undang-Undang Partai Politik masih menempatkan posisi fraksi dan partai yang sangat hegemonik terhadap anggota DPR.

Apakah bisa terjadi ketika dalam menyikapi kebijakan pemerintah masih ada ‘satu suara’ fraksi? Apakah bisa terjadi ketika dalam menyikapi kebijakan pemerintah masih ada ‘arahan’ Ketua Umum Partai?

Tentu sulit diwujudkan. Sehingga sistem proporsional terbuka yang tidak dikuti dengan idealisasi variable ikutan, pasti tidak ideal. Bahkan sistem proporsional terbuka memberi peluang kepada bukan kader utama partai untuk melenggang ke Senayan. Karena batu ujinya adalah popularitas yang berbanding lurus dengan elektabilitas.

Akibatnya bisa terjadi the wrong man in the wrong place. Atau kita menyerahkan persoalan negara dan politik kepada bukan ahlinya.

Bahkan mungkin saja mereka yang terpilih ‘belum’ utuh memahami platform perjuangan partainya. Karena memang dia bukan aktivis partai tersebut. Baru beberapa bulan memakai jaket partai. Hanya karena sangat dikenal oleh publik, sehingga terpilih.

Ibarat seorang pebalap Formula1 kelas dunia yang hebat, belum tentu mampu menerbangkan jet tempur.

Sebaliknya, sistem proporsional tertutup secara ideal akan memberikan tempat bagi kader terbaik partai untuk diberangkatkan ke gedung dewan. Mereka yang selama ini bekerja keras membangun partai, mengikuti proses pengkaderan, berkeringat, akan mendapat prioritas. Meskipun mungkin tidak populer atau tidak punya kemampuan finansial untuk meraup suara dalam sistem proporsional terbuka.

Sehingga diharapkan akan terjadi the right man in the right place. Sehingga persoalan politik dan negara di gedung dewan akan dibahas oleh mereka yang selama ini memang aktivis partai.

Dan mereka memang akan memperjuangkan platform partainya untuk mewarnai kebijakan negara ini. Melalui perjuangan legislasi mereka di Senayan.

Konsekuensinya, para anggota dewan ini memang benar-benar representasi partai politik. Sehingga sejatinya memang bukan wakil rakyat di dapil-dapil lagi. Karena rakyat memang memilih partai yang mereka sukai. Atau memilih platform perjuangan partai yang mereka anggap sesuai dengan keinginan mereka. Sehingga pakta janji atau komitmen dibangun antara rakyat dengan partai. Bukan rakyat dengan caleg.

Sehingga, jika saya diminta pendapat tentang pilihan mana; terbuka atau tertutup, sudah terjelaskan. Sistem terbuka mutlak harus diikuti variabel ikutan yang ideal tadi. Jika faktanya tidak, saya lebih memilih proporsional tertutup.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement