REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, hasil sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang nantinya akan menentukan Bharada Richard Eliezer (RE) tetap di Polri atau diberhentikan.
Ini karena vonis 1,5 tahun kepada Eliezer atas kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat tidak masuk syarat pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 yang kemudian direvisi menjadi Perpol 7/2022.
Aturan menyebut, sanksi berat pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) bisa dilakukan untuk personel yang mendapatkan ancaman hukuman pidana tahanan 5 tahun dan divonis 3 tahun yang sudah berketatapan hukum atau inkrah.
Namun di sisi lain, aturan itu bertolak belakang dengan Peraturan Peraturan Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemberhentian personel Polri yang hanya menyebut sanksi PTDH berlaku pada personel yang divonis pidana tanpa batasan waktu.
"Semua tergantung pada hasil sidang KKEP Polri nanti, tetapi masalahnya sidang KKEP yang akan digelar pasca pengadilan pidana tersebut, akan menggunakan aturan yang mana, dalam tata perundangan, tentunya PP lebih tinggi dibanding Peraturan Polri," ujar Bambang dalam keterangannya melalui pesan singkat, Jumat (17/2/2023).
Karena itu, Bambang mendorong sidang KKEP harus segera dilakukan setelah vonis hakim diketok. Menurutnya, ini penting untuk mengetahui putusan hakim terhadap Eliezer ini dianggap pelanggaran etik berat, sedang atau ringan.
"Pelanggaran berat tentu konsekuensinya adalah sanksi berat yakni PTDH pemberhentian dengan tidak hormat," katanya.
Namun demikian, Bambang menilai konsekuensi jika Eliezer tidak PTDH dan kembali bergabung dengan Polri. Hal ini akan membuat Polri dinilai sebagai organisasi penegak hukum yang permisif pada tindak pelanggaran hukum oleh anggotanya.
Meskipun, Eliezer jujur dan berperan menguak kasus pembunuhan yang menyeret Ferdy Sambo ini, tetapi tidak menutup fakta jika Eliezer mematuhi perintah atasan untuk menembak rekannya sendiri.
"Perintah atasan yang melanggar hukum tentu harus diabaikan karena bukan dalam situasi perang atau operasi keamanan. Artinya, dalam kondisi normal menjalankan perintah atasan tanpa berpikir pada aturan tetap tak bisa dibenarkan pada anggota brimob sekalipun," ujarnya.
Karena itu, Bambang mengingatkan Mahkamah Etik Internal Polri harus benar-benar mempertimbangkan berbagai hal terkait masa depan mantan Ajudan Ferdy Sambo tersebut di Polri. Tujuannya kata Bambang, untuk membangun Polri sebagai lembaga penegak hukum yang menjaga wibawa, bermartabat dan profesional.
"Kita ingin membangun polisi yang profesional atau tidak? Kalau taat pada pimpinan untuk melakukan hal yang salah diampuni, artinya kita permisif pada pelanggaran dan jauh dari semangat membangun polisi profesional," ujarnya.
Sebelumnya, Polri mengaku menyiapkan sidang kode etik terhadap Bharada Richard Eliezer (RE). Mahkamah etik internal kepolisian tersebut akan segera bersidang memutuskan nasib karier terdakwa pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J) itu kepolisian.
Kadiv Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Dedi Prasetyo mengatakan, Divisi Propam Polri, sudah menyiapkan komposisi majelis etik dalam sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) tersebut. Irjen Dedi belum bersedia mengumumkan siapa saja komposisi pengadil dalam sidang etik itu nantinya.
Kadiv Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Dedi Prasetyo mengatakan, Divisi Propam Polri, sudah menyiapkan komposisi majelis etik dalam sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) tersebut. Irjen Dedi belum bersedia mengumumkan siapa saja komposisi pengadil dalam sidang etik itu nantinya.
Dedi menambahkan, hasil sidang KKEP terhadap Richard itu nantinya yang akan memutuskan, apakah anggota Brimob 24 tahun tersebut, tetap boleh berkarier di kepolisian, atau diberhentikan. Dedi tak mau berspekulasi tentang apa yang belum dilakukan dan yang belum dihasilkan dari sidang KKEP terhadap Richard.
"Kita jangan mendahului apa yang belum terjadi. Nanti kita lihat saja hasilnya seperti apa,” ujar Dedi.
Namun begitu, dikatakan Dedi, hakim KKEP juga tak tutup mata serta tak tipis telinga dalam melihat, juga mendengar fakta-fakta eksternal terkait nasib Richard. Irjen Dedi mengutip Pasal 107 dan Pasal 109 Perkapolri 7/2022 tentang KKEP.
Dalam aturan internal tersebut, dia menerangkan hakim KKEP dalam memutuskan perkara etik anggota kepolisian juga dengan memertimbangkan saran, dan masukan dari berbagai pihak. Termasuk pandangan para ahli dan fakta hukum terkait Richard.