REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- "Tok, tok, tok, tok...," bunyi nyaring lato-lato yang dimainkan seorang bocah di deretan kios pujasera di Kota Semarang membaur dengan obrolan para pengunjung yang tengah bercengkerama sembari menikmati makanan.
Tak jauh dari situ, deretan pengojek "online" sibuk mengamati, sambil sesekali menggerakkan tangan di layar ponselnya. Warna hijau dan oranye menyala dari jaket seragam abang "ojol" menjadi pemandangan yang kontras.
Begitu mendengar pesanan makanan sudah jadi, mereka buru-buru mengambilnya di kasir. Tak terlihat mereka membayar sepeser pun dan hanya menunjukkan layar ponsel. Rupanya, sang pemesan telah membayar melalui aplikasi.
Mereka sudah sedemikian fasih dengan rutinitas pemesanan makanan "online" semacam itu. Tak tampak raut wajah kaku atau bingung ketika mengoperasikan ponsel meski ada sebagian pengemudi "ojol" yang sudah lumayan uzur.
Suasana seperti itu kini mudah sekali ditemui di berbagai sudut kota. Orang tak perlu repot-repot datang ke kedai untuk makan, tapi cukup memilih pesanan lewat aplikasi, klik, dan bersabar menunggu makanan datang.
Penanda warung laris bukan lagi dari banyaknya pengunjung yang datang untuk makan seperti era konvensional dulu. Di era digital, semua serba "online". Pengunjung warung boleh sepi, tapi pesanan tetap ramai.
Beberapa kedai dan warung makan justru dipenuhi "ojol". Itulah perubahan zaman seiring digitalisasi. Beragam platform jual beli "online", termasuk kuliner mulai bermunculan dan menjadi pilihan.
Sebut saja Go-Food yang merupakan afiliasi dari platform Go-Jek, GrabFood dari Grab, dan ShopeeFood. Shopee yang awalnya platform jual-beli barang "online" antarkota antarprovinsi (AKAP) dan internasional, ikut merambah sektor kuliner.
Disadari atau tidak, pandemi COVID-19 menyumbang kontribusi meningkatnya platform jual beli "online". Maklum, saat Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) membuat orang sulit dan takut untuk saling bertemu.
Badai COVID-19 memang membuat sektor usaha, tak terkecuali usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang terdampak dengan turunnya omzet. Di sisi lain, pandemi memunculkan alternatif model bisnis baru yang justru berpeluang mendongkrak bisnis.
Transformasi digital membawa kontribusi positif bagi para pelaku bisnis, seperti jejaring pelanggan yang lebih luas, kemudahan mempromosikan produk, hingga efektivitas dalam pengelolaan.
Itulah transformasi digital. Mau tidak mau, mengharuskan semuanya, termasuk sektor UMKM untuk segera beradaptasi digitalisasi agar tidak terhempas yang kedua kalinya setelah sempat diterjang COVID-19.
Namun, bukan berarti peralihan ke digital begitu mudah dilakukan seperti membalik telapak tangan. Kalangan UMKM pun merasakan bagaimana beratnya harus benar-benar berubah, diawali dari pola pikir sebelum ke pola usaha.
Adaptasi digitalisasi
Sebagai salah satu pelaku UMKM, Putri Merdekawati, misalnya, dia mengakui tidak mudah melakukan transformasi digital untuk usahanya. Butuh edukasi dan adaptasi, dan tentunya proses yang tidak instan.
"Dulu kami kan sangat mengandalkan 'offline' ya. Kemudian, berubah ke 'online' itu bukan hal mudah. Saya tiap hari 'meeting' lewat Zoom dengan temen-temen (karyawan, red.)," kata pemilik UMKM Batik siPutri itu.
Ternyata, UMKM yang memproduksi batik dengan pewarna alam itu juga pernah berkesempatan tampil di ajang BRIncubator 2019 di Jakarta. Persis setahun setelah itu, pandemi COVID-19 mendera Indonesia.
Meski sudah memiliki platform jual beli "online" sejak lama, ibu dari satu putri itu nyaris tak pernah menyentuhnya untuk berbisnis. Maklum, saat itu order dari pameran dan "offline" lebih menjanjikan.
Baru setelah dihantam pandemi COVID-19, perempuan kelahiran Sleman, 17 Agustus 1979 itu baru menyadari betapa pentingnya platform digital. Bukan hanya untuk berkomunikasi, tetapi juga jual beli.
Dari itulah Putri kemudian mengenal Rumah BUMN Semarang yang diinisasi Bank BRI. Beragam pelatihan soal digitalisasi diikutinya secara gratis. Lima karyawannya pun ikut diajaknya agar sama-sama cakap dalam transformasi digital.
Menyinggung tentang karyawan, jebolan Magister Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta itu tak pernah menganggap kelimanya sebagai anak buah. Bahkan, menyebutnya "karyawan" pun tidak sama sekali.
Putri menganggap mereka sebagai rekan kerja. Inilah yang menumbuhkan soliditas yang kuat di antara mereka dalam menghadapi pandemi COVID-19. Terbukti, Putri tak mem-PHK satu pun karyawannya saat pandemi.
Padahal, diakuinya, hantaman COVID-19 terhadap bisnisnya lumayan berat. Putri ingat betul omzetnya benar-benar "zonk" pada April 2020. Tidak ada pemasukan saat itu karena memang tak ada order.
Perlahan, platform jual beli "online" Batik siPutri, mulai Facebook, Instagram, Tokopedia, dan Shopee mulai direaktivasi lagi akunnya. Seingat Putri, langkah itu dimulainya pada Desember 2020.
Bekal pelatihan pemasaran digital, digitalisasi keuangan, pelatihan membuat konten, dan pelatihan lain dari Rumah BUMN dipraktikkannya. Memang tidak instan, tapi perlahan bisnisnya kembali menggeliat.
Saat ini, Putri bisa membukukan omzet sekitar Rp18-20 jutaan per bulan. Dibandingkan sebelum pandemi yang bisa sampai Rp50 juta per bulan memang jauh bandingannya. Namun, Putri bersyukur usahanya masih bertahan.
Seiring meredanya pandemi, pasar ekspor pun kembali terbuka lebar. Produk batik siPutri kini sudah merambah ke berbagai negara, mulai Singapura, Kanada, Jerman, sampai Dubai.
Berani garansi
Tumbuhnya platform jual beli "online" seiring transformasi digital ternyata juga memiliki tantangan tersendiri, terutama dari ulah oknum tak bertanggung jawab yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Apalagi kalau bukan penipuan, seperti menyalahgunakan tampilan etalase secara virtual untuk mengelabui calon pembeli. Boleh jadi barang yang dipajang terlihat bagus dan ciamik, namun tak sesuai dengan barang yang dikirimkan.
"Model kayak-kayak gitu kan membunuh karakter 'brand'," ucapAzis, pemilik UMKM BJ Homemade yang memproduksi kacamata kayu. Azis kerap menemui intrik semacam itu sehingga sempat ragu untuk bertransformasi digital.
Pemilik nama lengkap Azis Abdullah Bajasut itu penyandang difabel. Kedua kakinya lumpuh karena salah penanganan dari mantri kesehatan ketika sakit saat berumur tiga tahun, padahal lahir dalam keadaan normal.
Meski demikian, keterbatasan itu tak menghalangi semangat pecinta motor antik tersebut untuk meraih mimpi. Bisnis kacamata sudah ditekuninya sejak 2010, namun kala itu belum kacamata frame kayu.
Kacamata berbahan kayu mulai digelutinya sejak 2020, praktis masih dalam suasana pandemi COVID-9. Azis memanfaatkan limbah kayu dari industri pengolahan kayu di sekitar tempat tinggalnya.
Tak berselang lama, Azis ditawari kerja sama oleh rekannya sesama anggota Motor Antique Club Indonesia (MACI) yang juga pengusaha. Dari semula manual, Azis mulai memproduksi menggunakan mesin.
"Lama kalau bikinnya manual, satu kacamata bisa sampai empat hari. Sekarang pakai mesin CNC (Computer Numerical Control). Sekali bikin bisa 5-6 kacamata," ujar pemilik skuter Lambretta tahun 1959 itu, sembari terkekeh.
Terus terang, ayah dua anak itu lebih senang bertransaksi secara langsung dengan bertemu calon pembeli. Pembeli bisa mengecek produk sepuas hati sebelum memutuskan untuk membeli atau menyimpan uangnya kembali.
Akan tetapi, transformasi digital tak mungkin dihindari. Mau tidak mau, suami dari Susiyati itu harus ikut beradaptasi dengan teknologi agar tak tertinggal dengan pesatnya perkembangan bisnis digital.
Dengan semakin berkembang bisnisnya, Azis mulai menjajal sistem penjualan "online" dengan memanfaatkan platform jual beli daring. PaDi UMKM dan 1Export yang dipilihnya sebagai platform media bertransaksi.
Berbekal pelatihan-pelatihan di Rumah BUMN Semarang, Pendiri Komunitas Difabel Mandiri (KDM) itu mulai menata strategi bisnis, termasuk pembagian tugas untuk pengelolaan pemasaran dan pembelian secara "online".
Satu hal yang tetap dipegang Aziz, yaitu kepercayaan. Aziz pun berani menggaransi penuh jika barang yang dikirimnya berbeda dengan yang ditampilkan di etalase virtual. Bahkan, andaikata kacamata itu nantinya rusak.
Transformasi digital memang sebuah keniscayaan. BRI sebagai perbankan memiliki peranan vital dengan mendampingi dan membekali sektor UMKM dalam menghadapi transisi gelombang digitalisasi.