Selasa 21 Feb 2023 12:35 WIB

Rekonstruksi Cepat Pascagempa di Turki Bisa Timbulkan Masalah Baru

Perencanaan kota dan keselamatan bangunan perlu dipertimbangkan lagi dengan hati-hati

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Petugas penyelamat mencari jenazah dan korban gempa di bangunan yang runtuh di Adana, Turki tenggara, Jumat, 10 Februari 2023. Sekitar 12.000 bangunan di Turki telah runtuh atau mengalami kerusakan serius, menurut menteri lingkungan dan tata kota Turki, Murat Kurum.
Foto: AP Photo/Bernat Armangue
Petugas penyelamat mencari jenazah dan korban gempa di bangunan yang runtuh di Adana, Turki tenggara, Jumat, 10 Februari 2023. Sekitar 12.000 bangunan di Turki telah runtuh atau mengalami kerusakan serius, menurut menteri lingkungan dan tata kota Turki, Murat Kurum.

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Rencana Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk rekonstruksi cepat pascagempa dapat menimbulkan masalah baru. Para arsitek dan insinyur berpendapat, perencanaan kota dan keselamatan bangunan perlu dipertimbangkan kembali dengan hati-hati.

Beberapa hari setelah gempa bumi terburuk di Turki, Erdogan berjanji untuk melakukan rekonstruksi dalam waktu satu tahun, yang diperkirakan menelan biaya 25 miliar dolar AS. Pihak berwenang mengatakan, lebih dari 380.000 unit di 105.794 bangunan membutuhkan perbaikan.

Baca Juga

Menurut perhitungan Reuters, pemerintahan Erdogan selama dua dekade telah mengumpulkan dana sekitar 38 miliar dolar AS dalam bentuk pajak terkait gempa. Pajak ini dapat memberikan pembiayaan cepat untuk memulai upaya pembangunan kembali. Erdogan mengatakan, pemerintah akan menanggung sewa mereka yang meninggalkan kota-kota yang dilanda gempa.  

"Kami akan membangun kembali gedung-gedung ini dalam waktu satu tahun dan mengembalikannya kepada warga," kata Erdogan.

Para ahli mengatakan, Erdogan perlu berhati-hati menegakkan standar keamanan seismik dan membangun struktur yang lebih aman di daerah rawan gempa. Daerah ini terletak di atas salah satu dari tiga garis patahan yang melintasi Turki.

 “Tidak hanya perlu mengganti bangunan yang dihancurkan, tetapi juga merencanakan ulang kota-kota berdasarkan data ilmiah seperti tidak membangun di atas garis patahan dan belajar dari kesalahan masa lalu. Prioritas pertama adalah perencanaan baru, bukan bangunan baru," ujar mantan kepala Kamar Arsitek Istanbul, Esin Koymen.

Gempa pada 6 Februari, yang juga melanda negara tetangga Suriah, menyebabkan lebih dari satu juta orang kehilangan tempat tinggal dan menewaskan sekitar 46.000 orang di kedua negara. Gempa menghancurkan Turki selatan di tengah musim dingin, dengan mendekati titik beku pada malam hari. Hal ini membuat banyak tenda darurat tidak memadai untuk para pengungsi.

Para ahli mengatakan, gempa bumi mengungkapkan kerapuhan infrastruktur Turki, karena merusak bangunan modern dan kuno termasuk rumah sakit, masjid, gereja, dan sekolah. Beberapa orang  khawatir target rekonstruksi pemerintah yang ambisius menyisakan sedikit waktu untuk memperbaiki kesalahan masa lalu.

Pekan lalu, Menteri Urbanisasi Murat Kurum mengatakan, pemerintah akan mempertimbangkan survei geologi terperinci dalam rencana rekonstruksi kota. Pemerintah juga akan menggelar tender. Pemerintah telah berjanji untuk menyelidiki siapa pun yang dicurigai bertanggung jawab atas runtuhnya bangunan. Sejauh ini puluhan orang telah ditangkap.

"Ketika mereka mengatakan 'kita mulai pembangunannya dalam sebulan, kita menyelesaikannya dalam setahun', tanpa pekerjaan tata kota, terus terang, ini berarti bencana yang kita alami tidak diperhatikan. Butuh waktu berbulan-bulan untuk membuat rencana kota, sangat salah mengabaikan rencana itu," kata Wakil Ketua Kamar Insinyur Sipil, Nusret Suna.

Mantan menteri urbanisasi Mehmet Ozhaseki mengatakan, pada pertengahan 2018 diperkirakan lebih dari 50 persen bangunan melanggar peraturan perumahan. Namun Kementerian Urbanisasi tidak segera menanggapi pertanyaan tentang angka saat ini.

Politisi oposisi menuduh pemerintah Erdogan gagal menegakkan peraturan bangunan, dan salah membelanjakan pajak khusus yang dipungut setelah gempa bumi besar pada 1999 untuk membuat bangunan lebih tahan gempa. Erdogan telah berulang kali menolak kritik tersebut. Dia menyebut politisi oposisi sengaja berbohong untuk menghalangi investasi.

Pada 2018, pemerintah mengeluarkan amnesti untuk bangunan yang melanggar aturan konstruksi, serupa dengan aturan di bawah pemerintahan sebelumnya, sebelum 1999. Sementara badan perumahan negara, TOKI hanya membangun 1 juta rumah tahan gempa selama dua dekade terakhir, atau sekitar 5 persen dari bangunan di Turki. Sedangkan sektor swasta membangun lebih dari 2 juta rumah kokoh selama periode yang sama.

JPMorgan memperkirakan biaya untuk membangun kembali rumah, jalur transmisi, dan infrastruktur adalah sekitar 25 miliar dolar AS atau 2,5 persen dari PDB.  Laporan lain dari asosiasi bisnis Turkonfed memperkirakan kerusakan perumahan mencapai 70,8 miliar dolar AS. Sementara para analis mengatakan, biaya bisa melampaui perkiraan awal.

Lebih dari 20 tahun berkuasa, Erdogan menggunakan proyek real estate besar untuk memamerkan kemakmuran Turki yang meningkat.  Bangunan publik dan swasta telah meningkatkan pekerjaan dan stok perumahan baru. Langkah ini membantu meningkatkan peringkat kepercayaan publik Erdogan.

Beberapa kritikus mengatakan, negara memperburuk krisis dengan memberikan kontrak konstruksi yang menguntungkan kepada perusahaan "ramah" selama bertahun-tahun sebagai imbalan atas dukungan politik dan keuangan. "Sayangnya, sistem rentier alih-alih sains terus mengatur segalanya," ujar Kepala Kamar Perencanaan Kota Istanbul, Pinar Giritlioglu.

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement