REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pihak PT Jakarta Propertindo (Jakpro) menyatakan masih mengalami kendala pada masalah legalitas mengenai siapa pengelola dari Kampung Susun Bayam (KSB). Hal itu membuat warga Kampung Bayam yang terdampak penggusuran untuk pembangunan Jakarta International Stadium (JIS) tak kunjung menempati rumah susun tersebut.
"Kami masih berdiskusi dengan dinas di Pemprov DKI Jakarta untuk memberikan legalitas ke kami untuk menyewakan," kata VP Corporate Secretary PT Jakpro, Syachrial Syarif.
Syachrial mengatakan, prosesnya masih berkutat pada soal pengalihan pengelolaan. Pasalnya, bangunan RSB diketahui dibangun oleh PT Jakpro, sementara tanahnya milik Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) DKI Jakarta. Sehingga masih belum jelas pihak mana yang mengelolanya serta sampai kapan pengelolaannya.
"Perlu dihitung kapan, sampai kapan pengelolaan oleh Jakpro, kemudian kapan dialihkan ke Pemprov, ke dinaa terkait, kemudian kalau dialihkan ke dinas terkait berapa biaya yang harus disediakan yang harus dianggarkan untuk mensubsidi. Kalau hitung-hitungan sebenarnya, terus terang biaya sewa itu tidak bisa mencukupi seluruhnya untuk operasional," jelasnya.
Sementara itu, mengenai masalah angka atau tarif sewa, Syachrial mengungkapkan bahwa hal itu sudah final. Menurutnya, tarif tersebut sudah sesuai dengan pendekatan dan pas untuk Jakpro, Pemprov, serta penyewa. Dia menegaskan, pihaknya fokus pada masalah legalitas pengelolaan.
"Kalau besaran tarif kita sudah kunci, kita tawarkan sesuai dengan Peraturan Gubernur yang bervariasi dari Rp 600 ribu sampai Rp 700 ribu sekian," tuturnya.
Pernyataan tersebut tidak senada dengan aspirasi dari warga Kampung Bayam yang hingga saat ini masih menuntut Pemprov DKI dan Jakpro untuk segera menempatkan mereka ke KSB.
Ada sebanyak 75 KK yang tergabung dalam Persaudaraan Warga Kampung Bayam (PWKB) yang masih menunggu kejelasan hingga melakukan aksi protes berkali-kali ke Balai Kota. Mereka terkendala masalah tarif sewa yang dinilai sangat tinggi.
"Kalau kisaran mungkin Rp 150 ribu per bulan, itu seharusnya paling besar," kata perwakilan PWKB, Shirley.
Hal itu lantaran menurutnya sebagian besar warga berprofesi sebagai pekerja kasar di pabrik, diantaranya juga sebagai pemulung. Saat ini, sejumlah warga masih bertahan hidup di tenda dekat gedung JIS.