Rabu 22 Feb 2023 05:36 WIB

Kronologi Ricuhnya Gereja Jemaat Kemah Daud di Lampung

Jemaat GKKD tersebut memaksa untuk memakai tempat rumah tinggal itu untuk ibadat.

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Agus Yulianto
Gedung Gereja Kristen Kemah Daud di Jl Anggrek, Rajabasa, Kota Bandar Lampung belum memiliki izin untuk ibadat.
Foto: Republika/Mursalin Yasland
Gedung Gereja Kristen Kemah Daud di Jl Anggrek, Rajabasa, Kota Bandar Lampung belum memiliki izin untuk ibadat.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Berlarutnya persoalan izin yang menelan waktu sembilan tahun, menimbulkan kericuhan sebagian warga dan jemaat Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) pada Ahad (19/2/2023). Warga menilai ilegal, sedangkan jemaat GKKD ingin ibadat.

Menurut Lurah Rajabasa Jaya Sumarno, berdasarkan data dan keterangan yang diterimanya, sejak 2014 tersebut pengurus GKKD tersebut belum mengajukan izin. Pada tahun 2014 tersebut, kata dia, bukannya meminta izin untuk rumah ibadat, akan tetap sebatas meminta tanda tangan warga berkaitan dengan pemilihan anggota legislatif.

Dia mengatakan, pihak gereja telah diberikan waktu sejak Maret 2022 untuk membuat izin lingkungan. Tetapi prosesnya tidak dikerjakan, dan jemaat GKKD tersebut memaksa untuk memakai tempat rumah tinggal tersebut untuk ibadat.

Sumarno mengatakan, ada dua surat yang menjadi pegangan kelurahan dalam persoalan ini. Yakni, surat pernyataan dari perwakilan GKKD Bandar Lampung yang ditandatangani Naek Siregar pada 10 Desember 2016, dan Surat Kesepakatan Mediasi yang ditandatangani pada 13 April 2022.

“Dua surat ini masih menjadi pegangan dalam persoalan jemaat Gereja Kemah Daud ini,” kata Sumarno saat ditemui Republika.co.id di Bandar Lampung, Selasa (21/2/2023).

Pada surat pernyataan perwakilan jemaat GKKD Naek Siregar, berisikan tiga butir pernyataan. Pertama, gedung GKKD belum memiliki izin sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.

Kedua, adanya penolakan dari warga muslim Kelurahan Rajabasa Jaya. Ketiga, dengan ini menyatakan tidak akan menggunakan gedung tersebut untuk kegiatan peribadatan dalam bentuk apapun sebelum ada izin dari pemerintah berdasarkan SKB Mendagri dan Menag.

Surat pernyataan bermaterai Rp 6.000 itu ditandatangani Naek Siregar dan delapan saksi, yakni Ketua RT 12/LKII Wawan Kurniawan, Tokoh Agama Ahmad Suprianto, Ketua RT 02/LK II Sahroni, Tokoh Masyarakat M Tarmizi, Bhabinkamtibmas Bripka Kelo Fatrah, Babinsa Sertu Amin Kudsi, dan B Tinambunan.

Sumarno juga mengatakan, berdasarkan Surat Kesepakatan Mediasi yang ditandatangani pada 13 April 2022 oleh Tokoh Masyarakat M Yani Marjas, Mustamil, dan perwakilan Jemaat Kemah Daud Naek Siregar, dan Parlindungan Lumban Toruan. Surat ini diketahui Kesbangpol Kota Bandar Lampung, FKUB, kapolsek Kedatorn, Camat Rajabasa, KUA, lurah Rajabasa Jaya, Kaling dan RT.

Surat Pernyataan Mediasi ini berisikan empat poin. Pertama, menyatakan bahwa status tanah ditempati Jemaah Kemah Daud milik Jemaah Kemah Daud masih berupa tempat tinggal/gudang belum merupakan bangunan gereja. Kedua, Peraturan bersama Menag dan Mendagri terkait persyaratan rumah ibadah serta penggunaan rumah tinggal harus mengikuti prosedur, sebelum izin diselesaikan maka tempat tersebut tidak boleh digunakan tempat ibadat.

Ketiga, apabila persyaratan telah terpenuhi maka masyarakat tidak akan menghalangi untuk melakukan peribadatan sesuai dengan keyakinannya. Keempat, selama izin rumah ibadah belum ada pemerintah diminta bantuannya memfasilitasi peribadatan Jemaat Kemah Daud.

Perwakilan Jemaat Kemah Daud Parlin Sihombing mengakui, belum mendapat izin penggunaan gereja untuk ibadat jemaat. Menurut dia, pihak gereja sudah mengajukan izin sejak tahun 2014 dengan mendapat persetujuan 60 KTP pendukung yang dipersyaratkan, dan melampirkan tanda tangan dan KTP warga sekitar, dan 90 KTP pengguna gedung ibadat.

“Dalam permohonan itu, sudah diketahui RT lama Pak Iwan, dan Kepala Lingkungan dan Bhabinkamtibmas dan Babinsa. Artinya, jadi sudah sampai perangkat RT. Dari situ kami ajukan ke kelurahan. Disitulah awalnya mulai kericuhan. Saat itu, ada banyak penolakan. Yang kami tahu, akhirnya ada pergantian lurah dan RT,” ujar Parlin.

Menurut dia, sejak tahun 2014 sampai 2023, persyaratan sudah lengkap, namun mengalami hambatan ketika di kelurahan tidak diproses. Tahun 2018, pihak gereja mengajukan izin lagi, tapi pintu gereja disegel dan dipalang dengan kayu yang dipaku. 

“Sejak tahun 2018 sampai 2022 gedung ini tidak pernah dipakai. Jadi, benar-benar menganggur dan kosong,” ujarnya. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement